15 • Yang Pertama

264 54 11
                                    

Mungkin dalam setiap fase pendewasaan, gagal itu sudah jadi makanan sehari-hari yang harus dibiasakan. Bukan terbiasa untuk gagal, tapi terbiasa dengan rasa sakitnya ketika sesuatu tidak berjalan sesuai keinginan.

Aku gagal bertunangan dengan Kak Dito—mungkin belum.

"Dito sering loh cerita ke mama tentang Nara, tapi tiap disuruh bawa ke rumah, malah bilang sibuk mulu dia." Wanita paruh baya yang tidak menampakan keriput sama sekali pada wajah 50-an itu menyentuh lututku pelan. "Makasih ya nak, udah jagain anak mama di Jakarta. Mama berhutang banyak sama kamu."

"Tapi persoalan yang Dito bilang tadi—"

Ia tersenyum lemah, sudut-sudut pipinya tertarik ke atas membentuk sebuah lengkungan indah.

Helaan nafasnya terdengar di hadapanku. "Ada banyak hal yang kamu," matanya kini menatap laki-laki di sebelahku, "dan Dito harus diskusikan lagi."

"Maksud mama baik, nak. Nara juga orang yang baik, mama senang karena akhirnya bisa lihat perempuan yang sering Dito bicarakan di telepon, mama lega karena selama di sini Dito baik-baik saja."

Suara lembut dengan aksen yang agak asing itu seakan-akan membuai, seakan-akan kalimat yang baru didengar tadi itu bukan sebuah larangan.

"Tapi pernikahan," ia menatapku. Matanya sarat akan makna yang langsung kumengerti tanpa harus dijelaskan dengan kata-kata, "itu lain hal."

Senyumku masih setia terpasang, walaupun kanan kiri bahuku rasanya ingin merosot. Padahal aku sudah tahu kalau akhirnya akan seperti ini, sejak kemarin—bukan, sejak pertama kali aku dan Kak Dito membicarakan tentang hubungan yang lebih serius berduapun, aku sudah tahu kalau kami tidak akan dan tidak seharusnya bersama-sama.

"Maaf mama gak bisa banyak bicara ya nak, yaa? Mama yakin kalau kalian mengerti. Sudah dulu ya, sudah ditunggu bapak." Percakapan 1 jam 16 menit itu disudahi dengan langkah kaki menjauh dan suara mesin mobil menyala, sementara aroma parfum bunga-bunga yang mewah miliknya masih membekas dalam ruang tamu 10x10 itu.

Mungkin memang seharusnya aku tidur-tiduran di rumah saja hari ini. Memakai piyama Buttercup hijau yang kubeli setengah lusin bulan lalu, menonton drama korea yang baru kulirik empat episode, menertawakan cuitan-cuitan receh dari Twitter, melihat ikan-ikan hias milik ayah berenang—apapun, asal bukan berdandan berlebihan, mencari baju setengah mati, bergonta-ganti hijab yang warnanya itu-itu saja, hanya demi bertemu dengan orang tua Kak Dito di hari terakhir mereka berkunjung ke Jakarta.

"Besok aku juga pulang ke Bali."

Oh, iya. Beberapa hari lagi Nyepi.

"Mau packing sekarang? Yuk?" Aku sudah memikirkan isi kopernya, baju-baju yang akan kulipatkan karena ini tahun keduaku mengemasnya, masakan apa saja yang akan kubuat untuknya agar dibawa ke rumahnya nanti, dan lain-lain.

Tapi Kak Dito malah menggeleng, "aku gak tahu kapan bakal ke Jakarta lagi."

Dan dia benar-benar tidak kembali pada akhirnya. Mungkin kami memang berkomunikasi dengan baik sampai beberapa hari setelah ia tiba di Bali, tapi setelah itu, jejaknya hilang.

Benar-benar hilang tanpa satupun pesan atau telepon yang memberi kabar kalau kami telah selesai. Sama sekali tak ada bahasa padahal aku yakin kalau sebelumnya kami baik-baik saja.

Aku mulai berhenti menghubunginya setelah melihat postingan adiknya bulan lalu—2 minggu setelah Nyepi, yang memperlihatkan foto keluarga mengenakan Payas Madya. Kak Dito memakai udeng jejateran dan kemeja putih bersih juga lilitan kamben hitam mengelilingi kaki, dengan seorang perempuan di sebelahnya.

•••

"Udahhh udah hey lu makan pedes mulu. Stressnya ilang kagak, yang ada usus lu nanti yang ilang."

NuginaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang