2 - Empat Perempuan

436 62 17
                                    

Aku anak tengah dari tiga bersaudara. Adik dan kakakku perempuan semua dan aku anak laki-laki satu-satunya—yang sekarang, detik ini juga, akan segera menjadi laki-laki satu-satunya dalam keluarga.
    
       
     
Bapak meninggal dunia.

Dari banyaknya rasa yang ada di dunia, haru, pilu, sendu, tidak ada satupun yang mampir dalam pikiranku, setidaknya di detik-detik pertama aku mengetahuinya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasakan hati yang terlalu kebas dan jantungku tidak berdetak dengan bebas sampai aku tidak merasakan apa-apa meskipun aku maunya marah pada dunia.

Ruang tengah rumah dini hari itu, tempat di mana aku duduk sila memproses segala guguran hal mendadak beberapa jam yang lalu, ruang yang tiba-tiba terasa dingin bagai tak pernah dipijak hangatnya matahari—yang entah kenapa hari ini enggan muncul di langit cakrawala.

Bapak masih di rumah sakit, mungkin sebentar lagi pulang ke rumah dengan mobil putih dan kendaraan terakhirnya. Pulang rasanya bukan kata yang tepat di hari ia pergi selama-lamanya.

"Adekmu tolong dijaga, jangan sampe bangun dulu."

Aku mengangguk patuh pada tetanggaku yang tidak tahu datang sejak kapan, masih memakai baju rumahan dengan kerudung sepanjang siku mengembang berantakan, menemaniku yang hanya berdua dengan Leah di rumah.

Meski sudah berjanji untuk menjaga adikku terlelap di kamarnya, tapi ia tetap terbangun juga karena bisingnya ambulance dan tangis kakak yang meraung-raung. Sementara ibuku yang keluar dari mobil jenazah masih dengan mukena putihnya, terpaksa digotong masuk karena setengah pingsan dan terkulai lemas.

Duniaku belum runtuh saat itu. Belum, hanya beberapa menit, karena segera setelah bapak dibaringkan di ruang tamu dengan karpet dan kasur lipat seadanya, barulah aku merasa kalau seluruh semestaku luluh lantak saat itu juga.

"Sok mangga bade dicium bapakna, ulah nepi ka netes cipanon nya, Jang."

*Silahkan dicium dulu pipi bapaknya, jangan sampai air matanya menetes ya, nak.

•••


"Pimpin, Gi."

Farhan mempersilahkanku duduk di depan, diatas karpet pelepah daun kelapa yang digelar panjang mengelilingi pusara makam yang baru ditutup pagi tadi.

Siang ini sekitar pukul 2, guru dan teman-teman sekolahku datang untuk mendoakan, syukurlah mereka datang tidak terlalu cepat, karena jam-jam paling berat dalam hidupku telah usai puluhan menit yang lalu waktu aku ikut turun mengantar bapak ke tempat lelap terakhirnya.

"Yang perempuan ada yang pimpin gak?" Tanyaku pada Farhan dan teman-teman yang lain, karena sisi karpet wanita di kuburan keluarga ini agak sedikit jauh dan suaraku sudah terlalu terkuras untuk bisa terdengar sampai belakang.

"Nara mana?"

Ojan dan beberapa temanku mengecek bagian belakang, menanyakan pada anak perempuan tapi ternyata katanya Nara membantu di rumah karena sedang dalam keadaan tidak bisa ke sini.

Aku mengerti. Akhirnya kupimpin doa ke sekian hari ini, masih ada satu-dua tetes air mata menggenang di pelupuk mata karena aku teringat dulu bapak selalu jadi orang pertama yang mengajariku hal-hal bermakna. Bapak tidak selalu ada di rumah, tapi bapak selalu ada pada memori terbaik perjalananku hingga saat ini. Bapak yang mengajariku mengaji pertama kali, bapak yang meyakinkanku ikut Pildacil pertama kali, bapak yang mengantarku untuk duduk di majelis ilmu saat aku masih kecil dulu.

"Gi."

Tak terasa sekarang semua orang termasuk guru-guru sudah kembali ke rumahku. Tinggal Farhan, Ojan dan beberapa murid laki-laki menunggu di sekitar tanah basah yang bunga-bunganya masih wangi bertebaran menutupi rumah terakhir bapak.

Farhan meremas bahuku seakan-akan mentransfer segala kekuatan yang bisa ia beri.

Sebenarnya aku agak terkejut melihat wajahnya basah, tapi pasti dia juga kehilangan bapak hari ini, karena bapak sering bermain catur dengan Farhan kalau ia main ke rumah. Kami sering menonton bola sampai larut malam lalu mengantar Oca pulang ke rumahnya di gang sebelah. Bapak juga sering mengoceh panjang tentang asal muasal di mana ia mendapatkan ikan-ikan hiasnya berdua dengan Farhan.

Mengingatnya lagi membuat hidungku nyeri tanpa sadar.

Rasa perih yang tadi masih hanya seperti sengatan panas mendadak di sekitar hidungku, mulai bereaksi berlebihan ketika aku memikirkan masa lalu dan masa depan. Sekarang aku sendirian, jalan setapak yang bapak buat untuk ibu, aku, dan dua saudari perempuanku sekarang berhenti di pijakanku. Yang sesegera mungkin harus kusambung dan kulanjutkan lagi sendirian.

Butir air mata yang tadi tertahan akhirnya tumpah juga bersamaan dengan pikiranku yang berantakan. Aku tidak yakin bisa menanggung tanggung jawab sebesar ini, aku tidak yakin kalau aku bisa menanggungnya sendiri dengan hidup 3 perempuan berada di pundakku.

•••

"... Dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

"Sah?"

"Sah."

"Alhamdulillahirobbil'alamin."

Ucap syukur yang menggema dalam setiap sudut ruangan itu ikut menggetarkan suara dan hatiku secara bersamaan.

Hari ini aku mengucap janji di hadapan semua tetamu, ibu, dan penghulu. Menambah satu perempuan yang akan menjadi tanggung jawabku, yang sudah sejak lama bukan lagi kuanggap beban di bahu, karena ia pernah memintaku untuk membagi segala duka dan sukaku padanya. Karena setelah ini perannya bukan hanya sebagai perempuan tapi juga malaikat, ibu, teman, sahabat, dan satu-satunya bagiku.

Nuginara [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora