10 • Masa Cita-Citaku Itu, Kamu?

244 53 7
                                    

Perjalananku menulis cerita ini akhirnya bertemu fase henti sementara di bab ke sepuluh. Aku hampir menyerah dan menutup semua catatan lamaku juga membiarkan draft yang sudah kutulis sedemikian rupa ini dibaca sendiri oleh diriku.

Aku hampir tidak peduli dengan tabel-tabel plot atau gambar-gambar yang telah susah payah aku kumpulkan untuk menarik semua memori masa laluku kembali— karena sekarang aku berhasil. Aku berhasil membawa semua memori dan perasaan itu kembali menyelimuti hari-hariku yang membuat energiku terkuras habis.

Satu minggu draf ini tersimpan tanpa disentuh kembali dan satu minggu penuh aku berhenti untuk memikirkan masa-masa di mana buku ini berawal. Sampai esok harinya aku bermimpi tentang perjalananku dengan seorang murid laki-laki dan motor maticnya.

Waktu itu adalah hari Rabu. Nugi dan aku diminta untuk mewakili technical meeting. Berbekal motor matic hitam milik Nugi dan dua helm SNI yang juga dia bawa dadakan dari rumah, kami berangkat dengan mengantongi surat dispensasi mata pelajaran terakhir.

Tidak ada percakapan di jalan, pun ketika technical meeting berlangsung kami hanya mendiskusikan lembar juknis. Bagian mana yang perlu ditanyakan, poin mana yang diminta penjelasan oleh teman-teman, media pewarnaan apa yang tidak diperbolehkan untuk kaligrafi, semuanya. Sampai waktu menunjukan pukul 4 lewat 30 menit dan kami kembali ke parkiran motor.

"Rumah lu dimana?"

Aku yang sedang kesulitan mengunci helm akhirnya berhenti. "Hm?"

Nugi tertawa kecil, lalu membantuku membenarkan helmnya. "Ini kebalik neng."

"Yok naik."

Lalu begitu saja dia membuatku berhasil dilema sepanjang perjalanan pulang.

Dua anak manusia yang sama-sama belum punya surat ijin mengemudi, berboncengan dari sudut kota. Yang satu sedang berbunga-bunga, yang satu lagi entah sedang memikirkan apa.

Lampu-lampu jalan dan rumah makan yang mulai menyala ikut mentransfer perasaan aneh yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Langit yang kebetulan saat itu berwarna jingga menciptakan jejak dedaunan dari setiap pohon yang kita lewati, dan tiba-tiba aku mau momen ini jangan pernah berhenti.

Tapi sayang, gang rumahku sudah dekat dan aku turun di depan tukang gorengan yang sering mangkal sore-sore dengan gerobak biru muda. Nugi sempat protes waktu itu. Katanya, kenapa aku harus turun disini? Kenapa bukan sampai depan rumah? Dilarang ya sama Pak Camat?

Nugi, kamu mungkin tidak akan pernah tahu kalau pertanyaan recehmu waktu itu direkam jelas oleh akal sehatku dan masih kutertawakan hingga hari ini.

Tapi maaf ya, meskipun kamu baca ini sekarang, pertanyaan itu tetap tidak terjawab karena mungkin aku memang hanya tidak ingin kamu mengantarku sampai depan rumah. Mungkin lagi, aku tahu kalau nanti bayangan kamu yang mampir ke teras rumahku hanya akan jadi kenangan yang akan sulit kutemui kembali di masa depan.

Karena hanya dengan melihat piagamku di atas meja belajar saja membuatku mengingatmu.

Itu piagam juara 1 pertamaku di SMP. Waktu itu aku dan Nugi bukan hanya ikut Dai dan MTQ Putri, tapi juga seni musik Marawis. Semua kategorinya menyabet juara 1 sampai sekolah memboyong piala juara umum setinggi hampir 2 meter yang kemudian dipajang dengan penuh kebanggaan oleh kami sendiri.

Aku ingat bagaimana hari itu jadi hari Senin yang paling ditunggu-tunggu karena namaku jadi daftar yang dipanggil untuk diberi penghargaan di depan seribu murid dari 3 angkatan. Pun Nugi, tim LCC, Tahfidz, Kaligrafi, dan MTQ Putra. Hari itu aku tidak sempat bilang selamat pada Nugi padahal momen itu adalah yang terakhir kalinya kami berdiri beriringan di lapangan dengan cabang lomba keagamaan.

NuginaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang