1 • Berhenti di Lampu Merah

953 106 1
                                    

2 Januari 2020

Tadinya, menulis bukan satu-satunya bahasaku untuk mengadu. Menangis ya menangis saja, orang lain tidak perlu lihat. Sedih ya sedih saja, orang lain tidak perlu tahu. Tapi ternyata tangis pun tidak membuatku lega. Kalau dipikir-pikir, setelah semua hal yang kuhadapi di dunia, ternyata bahagia itu abu-abu dan sedih juga tidak selalu selesai dengan ditangisi. Ini opini asal, tapi kamu boleh setuju kalau kamu mau.

Karena menurutku, hidup selalu punya lalu lintas yang tidak bisa kita atur manual dan lampu merah juga bukan pemeran antagonis yang memaksa manusia untuk berhenti selama-lamanya. Dulu aku pernah punya satu kesalahan yang kalau diibaratkan bola salju, kesalahan ini hanya sebesar kepalan tangan saja. Tapi aku lalai untuk memegangnya erat-erat dan bola itu menggelinding ke dasar jurang, berfusi dengan material lain, dan berhenti setelah menjadi bukit untuk menghalangi jalanku ke depan.

Masalah itu jadi lampu merah bagiku untuk berbahagia.

Tapi seperti yang aku bilang, lampunya tidak merah selama-lamanya.

Hai, ini pertama dan mungkin terakhir kalinya aku menjawab pertanyaan di Quora setelah bertahun-tahun hanya jadi pembaca. Sebenarnya agak riskan untuk menulis di tengah ramainya stasiun saat jam pulang kerja begini, tapi karena momentum yang pas, biar aku ceritakan secara singkat tentang kesalahanku di masa lalu yang bisa berujung menjadi momen bahagia di gerbong kereta sore ini.

 Sebenarnya agak riskan untuk menulis di tengah ramainya stasiun saat jam pulang kerja begini, tapi karena momentum yang pas, biar aku ceritakan secara singkat tentang kesalahanku di masa lalu yang bisa berujung menjadi momen bahagia di gerbong ke...

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
NuginaraWhere stories live. Discover now