4 - Diantara Agustus

402 67 45
                                    

Aku dihantam bogeman mentah Farhan di belakang ruko sepi dekat tempat bimbel.

"Tolol!" Hardiknya mantap di depan wajahku. Tangannya mulai meraup bagian depan seragam putihku dengan emosi.

"Lu tuh gentle dikit Gi jadi cowok. Bisa-bisanya lu biarin Oca pulang sendirian malem-malem dan lu malah asik-asikan nonton bola."

Aku merematkan kepalan tangan serta menggertakan gigi dengan emosi yang kian memuncak—karena tidak tahan melihat lagak Farhan yang sok merasa jadi pahlawan padahal dia tidak tahu apa-apa.

"Oca gak akan masuk rumah sakit kalo lu mau sebentaarr aja jemput dia pulang, Gi."

Kepalan tangan kananku yang tadi berada di samping badan akhirnya pindah ke kerah baju Farhan, dan kulayangkan kaki pada tungkainya yang tertutup celana abu-abu SMA sampai dia limbung dan jatuh di hadapanku.

"Oca gak akan celaka kalo lu mau jujur sama dia, Han."

"Dia gak akan susah-susah nyamperin lu sendirian kalo aja lu gak ngebohongin dia dan bikin dia nyamperin gerbang sekolah lu," napasku tercekat karena kerah bajuku ditarik, "cuma buat nontonin lu yang ternyata anter pulang cewek lain."

Mungkin aku pernah menyebut nama 'Oca' sebelumnya tapi tidak bilang dia itu siapa, perannya apa dalam hidupku, dan kenapa dia harus ada dalam ingatanku.

Rossalia Jelita namanya, anak perempuan yang sudah berteman denganku sejak SD. Dia dulunya tinggal di kontrakan depan rumah sebelum akhirnya pindah ke gang sebelah bertepatan dengan dimulainya masa SMP—di mana akhirnya aku bersahabat juga dengan Farhan dan membuat mereka saling mengenal.

Oca menyukai Farhan.

Aku tidak tahu sejak kapan, tapi yang kutahu, Farhan selalu menghargai perasaan Oca dan menerimanya dengan senang hati meski tak ada rasa, bahkan tak jarang sikapnya yang terbuka membuat Oca serba salah, seolah-olah mereka memiliki hubungan khusus padahal aku tahu pasti kalau Farhan menyukai orang lain.

"Waktu lu bohongin Oca kalo lu gak bisa nonton sama dia gara-gara motor lu ngadat, dia bela-belain bawa motor sendiri buat jemput lu ke SMANES."

Farhan masih menatapku dengan tajam. "Harusnya lu bilang aja ke dia kalo lu ga bisa karena lu mau pacaran."

Renggutan tangannya di kerah bajuku mengendur.

"Nara kan?"

Mendengar nama itu disebut, Farhan menghela napasnya dan memalingkan wajah.

"Gue gak ada hubungan apa-apa sama Nara."

"Gue juga gak peduli." Jawabku.

•••

"Gak peduli, taek kucing. Taunya lu di sini-sini juga, Gi."

Derak kursi kayu yang menggema dalam ruangan kecil dengan ranjang rumah sakit itu menyapa telinga waktu aku merapatkan lututku ke samping tempat tidur Oca.

Tangannya yang bebas dari selang infus terulur menyentil keningku keras. "Lu tuh udah gue bilangin JUJURRR!"

"Apa sih lagian itu juga udah lama."

"Nah itu dia. Harusnya dipertanyakan tuh, lu naksirnya waktu SMP, tapi sampe sekarang masih belum bisa lupain dia. Menurut lu apa, selain karena lu masih suka?"

Aku berdecak mendengarnya.

Aku mungkin bisa menyembunyikan segala hal semauku di depan orang-orang, aku bisa menutup-nutupi banyak masalah di hadapan mereka, tapi tidak di depan Oca. Dia selalu bisa menebak sebuah perkara dan memberi opini yang membuat setiap orang kalah telak, termasuk aku.

Sebenarnya kalau saja waktu itu Oca tidak lihat ada gantungan kunci Buttercup menyembul di balik tempat pensilku, mungkin rahasia yang ini akan tersimpan lebih rapi.

Awalnya kukira Oca tidak akan banyak tanya, tapi karena dia sudah mengenalku lebih dari 6 tahun, jadi dia cukup tahu kalau aku tidak mungkin mengoleksi gantungan kunci, apalagi semacam karakter perempuan yang kembar tiga begitu.

"Ngaco. Orang ini punya temen gue. Ketinggalan." Belaku, waktu Oca sudah berpikiran kalau aku mencopot itu dari tas orang lain dengan sengaja. Padahal memang aku jujur kok, gantungan kuncinya mungkin tersangkut atau tidak terkait dengan kuat di tas Nara, jadi tertinggal di sofa rumahku waktu kami kerja kelompok.

"Masa? Perasaan dari kemaren-kemaren lu ga ada kerkom di sini."

Kelabakan, aku akhirnya bilang. "Iya! Iya dah terserah dah, serah lu, iya gue suka sama yang punyanya iya, tapi bukan berarti mau gue colong."

Ya habisnya, waktunya selalu tidak tepat. Akhir-akhir ini Nara jarang kelihatan di kelas. Seringnya sih dipanggil guru, lalu kembali ke kelas dengan wajah tertekuk. Padahal aku mau mengembalikannya dan bilang kalau benda itu tersangkut di sofa rumahku, maaf baru dikembalikan soalnya si pemilik sofa tidak punya nyali.

Bukan.

Bukan begitu.

Ah, skip skip. Pokoknya Nara sulit ditemui dan kalaupun bisa, pasti dia sedang mode senggol bacok atau memasang tampang tidak ingin diganggu.

Atau pernah juga waktu 10 November di tahun kedua masa putih biru, di hari ulang tahunku yang bertepatan dengan hari pahlawan, Nara malah tidak kelihatan dimana-mana. Padahal katanya yang menyiapkan kue ulang tahunku itu Nara dan teman-temannya.

Jadi akhirnya kusisihkan kue yang penuh krim warna kuning terang itu sepotong, tapi Nara malah kembali ke kelas dengan keadaan kacau. Kerudungnya basah, matanya sembab, dan dia langsung menarik tas-nya begitu saja tanpa menyadari kehadiranku yang duduk di meja guru.

Hari-hari setelah itu lebih parah lagi.

"Bayyati, Nara. Bayyati. Diikuti nadanya, bukan dihapal. Kalau dari awal udah Jiharkah, nanti kesananya gak bisa atur irama lagi kamu. Ulang."

Nara jadi suka kedapatan tidak fokus dan sering ditegur gurunya saat evaluasi. Pulangnya, dia menangis di kamar mandi.

Satu-dua kali aku berusaha bercanda dengannya seperti bilang "yaelah, gapapa kali, Ra. Sekali-kali rebel lu, bolos kek sono gak usah ikut evaluasi. Biarin aja nanti kalo Ustadz Rahman nanya, paling juga gue bilang 'Nara-nya lagi diare pak!' Gitu."

Atau pernah juga aku menitipkan es krim harga 1500 rupiah kesukaan Nara ke penjaga koperasi, dan memintanya mengeluarkan es yang tinggal 2 itu kalau ada anak dengan lesung pipi kanan dan name-tag Nara saja yang menanyakan. Soalnya aku tahu dia seringgg sekali beli es mini itu kalau istirahat.

Waktu itu aku belum tahu kalau ternyata semua kekhawatiranku padanya berdampak juga pada perasaanku.

Hingga baru kusadari kalau aku mulai menyukainya diantara bulan Agustus dan September.

Nuginara [END]Where stories live. Discover now