5 - Maaf ya, Nara

486 58 15
                                    

Kejadian di mana Farhan dan aku bertengkar di belakang ruko itu mengingatkanku tentang satu memori di awal kelas delapan yang sampai sekarang masih sering kupertanyakan.

Ceritanya mungkin dimulai dengan adegan yang sedikit tidak elit dan agak memalukan, di hari kamis yang tidak ada setetespun gerimis.

"Udah dibilangin entar gatel-gatel, masih aja lu, Nugi!"

"Iyee ... marah-marah aja terusss, tolongin napa ini temen lu lagi kena musibahhh." Aku meringis dan meminta Nara mengguyur air lagi pada lenganku yang habis memeluk buah bisbul sekantung besar.

Hari ini sekolah kami panen buah bisbul. Hampir semua pohon-pohon di hutan mini milik sekolah menjatuhkan lusinan buah merah sebesar kepalan tangan orang dewasa. Aroma manisnya sudah berjalan-jalan ke mana-mana sejak dua hari lalu dan sudah banyak buah yang akhirnya busuk juga di tanah, jadi Pak Ahmad meminta divisi tanaman sekolah untuk turun tangan.

Aku bukan salah satunya sih, cuma ingin ikut-ikutan saja soalnya seru. Jadi akhirnya kutinggalkan divisi makanan yang sedang berkumpul untuk mendiskusikan bahan presentasi demi membantu divisi tanaman memanen buah.

Tapi ya begitu deh, karena tidak hati-hati, aku malah terkena bulu-bulu gatal yang melapisi kulit buahnya itu. Sampai-sampai tanganku ikut merah-merah seperti dia.

"Mana sini yang sebelahnya!"

Aku berjengit di tempat karena Nara mengomel-ngomel lagi. "Ya udah jangan marah-marah."

"Abisnya gue kesseeelll. Divisi kita lagi puyeng lu malah ke sana kemari mungutin bisbul."

"Ya udah, maapinn..."

"... mau bisbul gak?"

"Udah cepetan ah gue mau balik."

Iya-iya...

Hadah, rungsing sekali temanku yang satu ini.

Padahal seingatku waktu kelas 7 Nara itu kalemnya kebangetan. Padahalnya lagi, ini masih baru beberapa bulan setelah kami duduk di kelas yang sama di tahun kedua masa putih biru.

Tidak disangka ternyata Nara galak juga.

Tapi ya memang sih, aku sudah melihat tanda-tanda keberanian dia—kegarangan lebih tepatnya—sejak kelas 7. Waktu kami latihan untuk lomba Fath SMANEKA di mushola sekolah, tiba-tiba datang orang asing yang mungkin ada keperluan dengan guru atau siapa entah aku tidak tahu. Intinya, dia datang seenaknya ke mushola dan mengadem di mushola luar tanpa membuka sepatu.

Nara langsung berdiri saat itu. "Maaf pak, di sini masih batas suci. Tolong sepatunya disimpan di rak depan sana ya." Katanya. Sambil menunjuk rak yang dituju dengan ibu jari dan senyum. Tapi tatapan mata dan gertakan giginya tidak lantas menyembunyikan rasa sebal yang ia tutup-tutupi.

Ya gimana tidak marah, orang musholanya baru dia pel tadi pagi. Aku juga marah harusnya, karena kan aku yang mencuci alat pel-nya.

Tapi waktu itu kami masih belum sedekat ini.

Maksudku dekat adalah seperti waktu aku memintanya mengambilkan kaus jersey di dalam tasku, atau ketika sandi laptopku ku beritahu padanya, atau waktu pelajaran IPS dan aku mengandalkannya.

Sebenarnya salah juga sih karena aku malah mengandalkan Nara yang jelas-jelas menunduk sambil pura-pura membaca buku cetak, menunjukan ketidaksiapannya ditunjuk untuk menjawab pertanyaan Bu Ela.

Tapi bodohnya aku malah memilih dia. Habisnya bingung mampus harus pilih siapa lagi, yang lewat di kepalaku waktu itu hanya Nara, karena dia duduk di belakang mejaku persis.

Aku sudah pasrah saja waktu dia berjalan ke depan sambil setengah melotot dan setengah linglung.

Di titik ini aku telah siap kalau jawaban Nara melantur ke sana kemari karena dia pasti gugup setengah mati dengan panggilan dadakan ini. Kalaupun Nara menjawab tanah humus, tanah gambut, atau tanah kusir sekalipun, aku akan maklum.

Nuginara [END]Where stories live. Discover now