12 • See You On Top!

318 64 11
                                    

Dara dan Nugi akhirnya benar-benar berpacaran.

Aku baru tahu setelah melihat postingan mereka di hari pemotretan buku tahunan. Dan itu sukses memukul mundur diriku yang awalnya mulai merasa baik-baik saja.

Apalagi ditambah dengan pembagian kelas tambahan yang sesuai dengan hasil try out pertama, aku masuk ke kelas F dan Nugi ada di jajaran para Tutor Sebaya di kelas H. Sementara Dara? Dia tentu berada di kelas unggulan, dengan murid-murid yang diberi tugas untuk membantu para guru merumuskan modul persiapan Ujian Nasional-kelas pilihan I.

Detik itu, dibalik semua buku-buku tebal dan jam tambahan yang melelahkan, dibalik nilai 4 dan 5 yang tertulis merah di buku latihan, aku merasa kalau aku sangat berbeda dengan mereka, dan aku bukan orang yang pantas untuk bermimpi setinggi itu tentang Nugi dari segi manapun.

Aku bahkan sempat masuk kelas B di try out ketiga, itu cukup untuk membuat mentalku berantakan. Tapi setidaknya, membuatku akhirnya memiliki dorongan untuk berhenti memikirkan apapun selain pelajaran.

Diam-diam aku juga menyesal karena tidak ikut bimbingan belajar di luar seperti yang ibu mau, sampai aku jadinya berakhir di kelas dua terbawah begini.

Meskipun mungkin ada baiknya juga aku di kelas B, karena murid-murid kelas H dan I pasti punya jadwal untuk berkeliling ke kelas A-B untuk menjadi tutor kami. Mereka biasanya bisa mengajari banyak rumus yang lebih dimengerti karena gaya bahasa yang sederhana. Tidak ada sekat seperti guru dan murid juga membuat kami di kelas bawah lebih menikmati belajar dengan para Tutor Sebaya. Kecuali aku.

Sebisa mungkin aku menghindari mereka meski harus bolak-balik ke ruang guru untuk bertanya ini itu langsung ke guru penanggung jawab, tapi aku tidak peduli, yang penting aku bisa benar-benar fokus belajar untuk Ujian Nasional tanpa memikirkan hal-hal tidak penting—yang saat itu aku berpikir bahwa Nugi tidak lagi penting dan aku harus berhenti memikirkan dia.

Pokoknya, segala upaya dan belajar intensif di rumah benar-benar kulakukan sampai nilai try out terakhirku naik drastis dan aku berhasil masuk ke kelas standar kembali. Hingga aku benar-benar bernafas lega karena ternyata Nugi tak lagi ada di jajaran para tutor sebaya sebab nilainya turun ke kelas G, bertepatan denganku yang naik ke kelas E.

Berita baiknya, aku dapat tambahan waktu istirahat karena jam belajar intensif berkurang. Berita buruknya, aku benar-benar jarang bertemu lagi dengan Nugi.

Mungkin aku memang sesekali melihatnya ikut berlari ke lapangan untuk senam peregangan setiap jam dua siang, tapi paling hanya sebatas itu. Aku tidak pernah benar-benar bertegur sapa lagi dengannya karena biasanya aku yang mencuri momentum agar bisa berpapasan dengan Nugi.

Kalau sekarang, jangankan modus ke sana kemari, mengecat pot untuk tugas seni saja aku menghindar dari jangkauan pandang dia. Pokoknya, sebisa mungkin mempersempit kemungkinan kami bertemu dengan memutar lewat kantin setiap berangkat dan pulang sekolah, datang di waktu-waktu dia tidak mondar-mandir ke meja piket, dan menjauh dari pintu kelas Nugi saat kebetulan aku ada tugas mengecat pot di taman depan kelasnya.

Tapi sudah menghindar bagaimanapun juga aku tetap bertemu dia waktu bel senam peregangan dibunyikan.

Seperti siang itu, karena hari-hari terakhir kami sekolah sebelum Ujian Nasional, murid-murid kelas 9 jadi lebih ekspresif. Senam yang biasanya diikuti malas-malasan dari kelas masing-masing, jadi lebih ramai karena kebanyakan dari kami turun ke lapangan menari poco-poco. Hampir seluruh lapangan penuh dengan angkatanku.

Pokoknya apapun yang sedang dikerjakan, pelajaran apapun yang sedang berlangsung, pasti ditunda ketika bel jam 2 siang berdering. Karena momen senam peregangan di siang bolong ini mungkin tidak akan kami temui lagi di SMA. Makanya aku juga berlarian ke lapangan meski dengan tangan penuh cat bekas praktik seni budaya.

Nuginara [END]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt