09 • Ini Bukan Apa-Apa

244 54 7
                                    

"Wihh, Nara suka kan sama dia?"

Haha. Yang benar saja deh. Siang bolong begini, bukannya berburu es teh di kantin sekolah aku malah ditodong pertanyaan yang sama sekali tidak masuk akal.

"Enggak mungkin lah."

"Ah yang benerrr? Kok kayaknya kalian akrab banget. Dispen bareng, sering ngobrol berdua, duduk depan-depanan. Jujur aja kaliii, Farhannya juga enggak marah tuh kalo dicengcengin sama kamu."

Aku cuma bisa tersenyum menanggapi pertanyaan Intan sambil menunggu formulir pendaftaran divisi selesai difotokopi. Karena apa yang dia bilang tidak salah juga sih, Farhan memang duduk di depanku waktu kelas 8, berdua dengan Nugi. Farhan juga satu divisi denganku, kami sering ijin dispensasi bersamaan, begitu juga dengan Nugi. Kami sering mengobrol— ah, tidak berdua juga sih, karena biasanya Nugi bergabung dan disusul dengan yang lain.

Jadi, Intan salah paham. Mereka salah paham. Karena orang yang aku suka bukan Farhan.

"Masih lama, Ra?"

Tapi orang ini.

"Lagi difotokopi. Buru-buru banget emang, Gi?"

Mataku sengaja tidak melihat ke arahnya, pura-pura sibuk membaca bahan presentasi untuk promosi divisi ke angkatan kelas 7 siang ini. Tapi tangan Nugi malah menghalangi huruf-hurufnya, dia mengambil kertas materi dari tanganku pelan-pelan.

"Udah, santai ajaaa. Kita cuma promosi doang kok bukan lomba. Dibawa asik ajaa."

•••


Yah ... Kira-kira begitu interaksi pertama kami seusai libur panjang kenaikan kelas 9.

Setelah membuat heboh satu kelas dengan berita si pacar pertamanya, Nugi sering kelihatan menyeberang ke blok kelas 8F atau bermain basket di lapangan sekolah demi menunggu Vania pulang dari kegiatan OSIS. Vania benar-benar membuat si kapten futsal menghabiskan waktunya menggiring bola basket, membuat Nugi keluar kelas paling pertama dan masuk paling akhir setiap istirahat.

Seakan-akan tidak puas menertawakanku, kali ini semesta menempatkan aku dan Vania dalam satu kelas yang sama.

Padahal aku kira, aku tidak akan melihat Nugi yang kasmaran lagi kali ini. Tapi aku malah jadi saksi bagaimana Nugi menunggu Vania di depan kelas sambil bermain rubik, bagaimana ekspresi Vania waktu memergoki Nugi bersandar di pintu kelas sepulang sekolah, bagaimana interaksi mereka yang kelihatan kaku dan malu-malu, juga ketika akhirnya Nugi tidak pernah menginjakan kakinya di kelas ini lagi, aku tahu itu.

Waktu Nugi sudah tidak pernah mondar mandir di lorong 9H, banyak yang menyimpulkan kalau Vania dan Nugi sudah putus.

"Nah ini, biasanya gue kalo udah ketemu hasil x-nya, nanti disubstitusi, tapi dihitungnya terpisah, sini deh pensil—"

Itu suara Vania yang sedang menjelaskan tugas matematika. Iya, Vanianya Nugi. Dengan otak encernya, ia berhasil menjadi siswi yang menonjol di kelas. Sudah cantik, pintar, tidak pelit ilmu, kesayangan guru, kesayangan Nugi— ah, cukup. Pokoknya, dia memang cukup populer dan disukai banyak orang.

Setelah merogoh tempat pensilnya asal dan menyodorkan apa saja yang ia dapat dari sana, Monik memutar buku tulisnya ke hadapan Vania untuk diajari pelajaran matematika, membiarkan gadis dengan kerudung Rabbani itu mencoret-coret rumus dengan tangan kanannya. "Nah kan begini, kalo udah, tinggal dijumlahin deh."

Monik merekam beberapa saat dengan otaknya lalu mengangguk-angguk saat menemukan titik paham di pikirannya. "Widih, ga kepikiran loh gue. Jago banget lu, Van."

"Ah enggaaa." Jawab Vania sambil mengayun-ayunkan tangannya.

Ternyata Vania orangnya tidak sependiam yang aku kira. Vania tidak pelit ilmu dan bersedia menjelaskan padaku juga Monik rumus dari tempat lesnya. Dia anak yang ramah dan lumayan terkenal di sekolah, meskipun bukan tipikal social butterfly yang awalnya kelihatan pilih-pilih teman. Padahal sebenarnya mungkin bukan pilih-pilih, tapi dia tidak gampang cocok dengan sifat orang lain.

NuginaraWhere stories live. Discover now