37. The Catch

5.5K 703 457
                                    

Halo, bestie :)

Jangan lupa jaga kesehatan.

Yang mau join grup masih bisa komen "join" di sini, ya. Nanti ku dm link-nya hihi.

Selamat menikmati.

*******

"Ya, mohon maaf sekali lagi. Untuk saat ini, saya masih cuti. Jika memang betul-betul butuh konsultasi, saya bisa merekomendasikan Anda pada rekan saya yang lain. Bagaimana?"

"Apa gak merepotkan, Dok? Saya memang sedang butuh sekali berkonsultasi. Belakangan ini, saya merasa kondisi saya memburuk."

"Iya, gak apa-apa. Nanti akan saya beri kontak rekan saya yang bisa menjadi psikiater pengganti untuk Anda."

"Baik, Dok. Terima kasih banyak kalau begitu."

"Sama-sama. Semoga kondisi Anda lekas membaik."

Renata tersenyum sendu menatap kontak pasien yang ada di ponselnya. Ini sudah pasien kedua yang menanyai dirinya mengenai jadwal konsultasi. Kasihan mereka.

Gara-gara kemalangan yang menimpa Renata, pasien-pasiennya juga jadi kena imbasnya karena cuti.

Renata sendiri sekarang sudah seperti penghuni Altheya. Dia tidur, bangun, makan, dan mandi di sini. Sudah seperti apartemen saja. Pulang pun sekali-kali untuk mengambil perlengkapan, setelah itu kembali menemani Hartono di rumah sakit. Proses pemulihan pria itu agak lambat, makanya belum kunjung dpersilahkan pulang oleh Dokter Ali. Apalagi, beberapa waktu lalu sempat drop kembali gara-gara kehilangan istri. Kasihan memang.

"Kenapa, Nduk?" tanya Hartono saat Renata kembali ke dalam ruangan.

"Pasien Renata, Yah. Ganti Dokter," jawab Renata seraya mengambil tempat duduk di sisi ranjang Hartono.

Tatapan teduh Hartono pun berubah sendu. "Maaf. Karena menjaga Ayah, kamu jadi tidak bisa bekerja dengan baik...."

"Aduh. Ayah jangan bicara sembarangan, dong. Sudah kewajiban Renata jaga Ayah, ndak perlu minta maaf seperti itu."

"Jika ibumu masih ada, mungkin tidak akan seperti ini...," sesal Hartono seraya menunduk.

Renata pun meraih tangan ayahnya dan menggenggamnya dengan lembut. "Ayah masih punya Ren sama Malik. Mau ibu masih hidup atau ndak, kewajiban mendampingi dan merawat Ayah juga ada di kami sebagai anak. Apalagi sekarang tugasnya Ibu sudah selesai.... Kita ikhlaskan Ibu pelan-pelan, ya, Yah?"

Hartono hanya tersenyum getir dan mengangguk pelan. Sorot matanya masih begitu sarat akan kehilangan dan kerinduan. Hal itu tanpa sadar menyayat hati Renata yang melihatnya. Apalagi, ini memang baru hari kelima semenjak pemakaman.

Tak kuat berlama-lama karena takut menangis lagi, Renata pun menarik napas dalam. Lantas, dirinya meraih remote televisi dan menyalakan layar datar yang menempel ke dinding ruangan. "Ayah mau nonton apa? Sekarang sudah sore. Banyak acara seru sepertinya," ujar Renata mengalihkan pembicaraan.

Bukannya menjawab pertanyaan Renata, Hartono malah bertanya balik. "Kamu sendir tidak cari makanan untuk berbuka puasa, Nduk? Ini sudah jam lima lebih."

"Itu gampang, Ayah. Renata bisa pesan online."

"Tapi, toko-toko online itu pasti penuh, Nduk. Kalau kamu pesannya kesorean, kasihan pengemudinya jadi tidak bisa berbuka puasa di rumah bersama keluarganya karena mengantre pesananmu."

Kebiasaan Hartono yang Renata kagumi. Suka sekali memikirkan nasib orang lain sejauh itu.

"Atau lebih baik, kamu keluar saja. Biasanya di dekat rumah sakit banyak tukang dagang. Belilah makanan untukmu dan Malik. Adikmu pasti sedang terjebak macet menuju ke sini," saran Hartono lagi. "Jalan-jalan sedikit supaya sehat. Kamu jarang sekali berolahraga semenjak menjaga Ayah di sini."

Z̶e̶l̶ian 3: Definisi SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang