28. Passing By

4.2K 505 87
                                    

Belum, kok. Belum ending wkwkw.

Selamat menikmati :)

****

"Ada perlu apa, ya, Pak?"

"Bisa bertemu dengan Pak Adi?" tanya Damian ragu.

"Apa sudah ada janji sebelumnya?"

Sialan. Dia lupa kalau papa dari mendiang istrinya itu orang penting. ".... Belum."

"Maaf, Pak. Kalau begitu tidak bisa bertemu. Pak Adi sangat sibuk," tutur sang resepsionis wanita.

"Tapi, apa bisa coba hubungi dulu? Barangkali, bisa bertemu beberapa menit. Ini penting sekali."

"Maaf, Pak. Tidak--"

"Saya menantunya," potong Damian. "Tolong bilang kepada Bapak Adi kalau menantunya, Damian, harus membicarakan sesuatu."  Terpaksa ia memakai kartu tersebut. Dan nampaknya, hal itu berhasil karena si resepsionis langsung membelalak kaget. Dengan gugup, ia pun menelepon atasannya untuk meminta izin sementara Damian menunggu.

Pembicaraannya tadi malam bersama Arin dan Rafa menuntunnya untuk meminta bantuan kepada Adi. Mereka telah memutuskan untuk menanganinya secara mandiri. Rafa menyewakan pengawal untuk Arin dan Damian mencari bantuan lagi. Damian, Arin, dan Rafa tidak mau menambah pikiran orang tua mereka mengenai peristiwa baru-baru ini. Kasihan Dani dan Tita sudah pusing memikirkan pengamanan Erika. Nina dan Ali juga paling banyak berurusan dengan polisi belakangan ini. Kasihan jika diberitahu mengenai penguntitan Arin. Makanya, papa kandung Zelina dirasa paling tepat untuk diajak bicara.

Beliau yang paling jarang terlihat semenjak sidang Tristan berakhir beberapa bulan lalu. Mungkin, karena sibuk dengan urusan bisnis dan juga keluarga barunya. Lagi pula, semenjak Zelina meninggal, Adi merasa kehilangan alasan untuk berhubungan dengan keluarga mendiang putrinya.

Ketika akhirnya diperbolehkan untuk naik ke ruangan Adi, Damian pun berterimakasih dan segera menuju lift. Di dalam boks besi tersebut, ia berharap semoga Adi mau membantu melacak Tristan agar kasus ini segera tuntas. Pria itu punya kuasa dan koneksi banyak. Jauh lebih banyak dari yang Damian punya tanpa melibatkan Dani. Semakin bagus jika banyak yang mencari.

Saat boks terbuka, Damian langsung diarahkan oleh asisten Adi untuk masuk. Betapa terkejutnya ia saat melihat mertuanya setelah berbulan-bulan. Adi yang dulu begitu gagah ketika di persidangan, kini terlihat kurus dan pucat meskipun jas mahal masih mempertahankan karismanya.

"Selamat pagi, Pa," sapa Damian seraya tersenyum canggung.

"Pagi, Damian. Silahkan duduk," timpal Adi ramah.

Damian pun mengikuti arahan Adi dan duduk di seberang meja gagah milik mertuanya. "Bagaimana kabarnya, Pa?" tanyanya berbasa-basi.

"Seperti yang kamu lihat, Damian." Adi tertawa ironis. "Maaf kalau Papa jarang berkunjung lagi. Kondisi Papa semakin memburuk semenjak kejadian itu."

"Papa sakit apa?"

"Biasa. Orang tua."

"Oh...." Jujur, Damian tidak tahu apa itu. Banyak penyakit yang menyerang orang lanjut usia. Namun, dia hanya mengangguk-angguk saja karena paham jika Adi lebih nyaman merahasiakan apa yang ia derita. "Semoga lekas sembuh kalau begitu, Pa."

"Terima kasih, Damian. Ada apa pagi-pagi ke sini? Papa agak terkejut ketika ditelepon resepsionis tadi."

Setelah menimbang-nimbang, Damian pun akhirnya menarik napas dalam dan mulai bercerita mengenai peristiwa Arin dan Erika.

Selama Damian berbicara, Adi fokus memperhatikan. Tak pernah sekali pun menyela ucapan menantunya agar dia bisa mendapat informasi secara utuh lebih dulu. Baru mengajukan pertanyaan jika ada yang kurang jelas.

Z̶e̶l̶ian 3: Definisi SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang