21. Argument

4.6K 542 114
                                    

Hai, bestie!

Hari minggu pada ngapain aja, nih? Hihi. HFH? Holiday from home? 😏

Selamat menikmati :)

****

"Eh, kamu mau ke mana bawa-bawa koper gitu, Ga?"

Pagi-pagi sekali, di jam sarapan, Erlangga sudah kembali membuat keluarganya heboh dengan membawa sebuah koper beserta tas ransel. Ketika melihatnya, Tita sontak saja bertanya, Dani menghela napas berat, sementara Erika menunduk penuh penyesalan. Dia yang sudah membuat Erlangga seperti ini.

"Angga mau ngontrak sama temen Angga." Erlangga tidak menoleh sama sekali ketika menjawabnya. Dadanya masih merasa sesak karena peristiwa semalam.

"Kamu itu bicara apa? Gak usah macem-macem! Masuk kamar!" Tita tidak suka melihat keluarganya terpecah belah seperti ini. "Kalau ada masalah, kamu duduk. Bicarakan baik-baik supaya ada jalan keluarnya. Gak perlu minggat-minggat kayak gini. Kamu udah bukan ABG labil!"

"Justru itu, Ma...." Erlangga akhirnya menoleh. Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, Tita melihat kedua mata terang milik Erlangga berkaca-kaca. "Erlangga udah dewasa. Erlangga gak bisa selamanya jadi beban Mama sama Papa.

"Angga malu," lirihnya. "Yang masih beban Mama sama Papa cuma Angga doang. Angga belum bisa kayak Abang sama Erika. Angga gak mau Papa sama Mama malu punya anak kayak Angga...."

"Ga, kamu jangan ngawur, ah. Mama gak suka!"

"Tapi, itu kenyataannya, Ma." Suara Erlangga bergetar. "Erika aja jadi berani semena-mena sama Angga karena Angga satu-satunya orang yang gak punya hal penting buat diurus di sini. Erlangga gak kayak Abang atau Papa yang punya pasien banyak di rumah sakit. Atau, kayak Erika yang punya klien bejibun di butik. Atau kayak Mama di kampus.... Status Angga cuma pegawai baru di kantor. Masih magang. Angga bukan orang penting. Makanya, gampang banget buat Erika suruh Angga jadi bawahannya dia aja."

"Abang.... Maaf, Erika--"

"Karena itu," potong Erlangga. Dia muak mendengar permintaan maaf Erika, "Angga mau mandiri. Angga mau berusaha buat sukses tanpa bantuan Mama sama Papa dulu. Kalau gini terus ... Angga ngerasa kayak produk gagal doang. Angga gak akan pernah bisa sama baiknya kayak Bang Dami atau--"

"Duduk, Ga." Dani menurunkan perintah seraya mengirim pesan singkat pada asistennya agar menunda agenda pria paruh baya itu selama dua jam. Ada cito yang lebih penting di rumahnya saat ini.

"Ayo, Erlangga. Duduk di samping Papa." Dani meletakkan ponselnya di meja sementara Erlangga tercekat di tempatnya. Yang ditawari Dani tadi adalah kursi Damian. Selalu milik Damian sejak dulu.

"T-tapi, Pa--"

"Duduk. Kita sarapan sama-sama."

Erlangga mengusap kasar air matanya yang hendak jatuh. Tepat di saat Erlangga mendaratkan bokongnya di kursi sebelah Dani, Damian datang dari arah pintu utama. Dirinya sungguh kebingungan mengenai apa yang sedang terjadi di sini. Raut wajah lelahnya bahkan langsung hilang, digantikan dengan kerutan heran karena melihat Erlangga, Erika, dan Tita dengan mata merah berkaca-kaca. Bahkan ada koper dan ransel di dekat meja.

"Apa ... yang sudah Damian lewatkan?"

*****

"Iya, Budhe. Sekali lagi, maaf karena baru diberitahu." Renata menggigit bibirnya sembari menjepit ponsel di antara pundak dan telinga. "Nggeh. Matur nuwun. Nanti salamnya disampaikan ke Ayah dan Ibu, Budhe."

".... Nggeh. Sehat-sehat semuanya di sana juga, Budhe. Assalamu'alaikum."

Renata akhirnya bisa menghempaskan tubuh di kasur ketika panggilan tersebut selesai. Itu adalah telepon kelima yang telah Renata lakukan sejak semalam. Dipotong waktu tidur, Renata kembali melanjutkan kegiatan menelepon sanak keluarganya rumah per rumah. Sebetulnya, ia bisa saja mengumumkannya di grup keluarga besar.

Z̶e̶l̶ian 3: Definisi SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang