Chapter 32

7 2 0
                                    

KESEMBUHAN Nadira berangsur-angsur membaik. Diikuti dengan perkembangan tubuhnya yang mulai mampu berkomunikasi dengan peralatan khusus, hingga dia mampu mengubah kembali rutinitas hidup barunya.

Nadira mulai mempelajari kembali semuanya dari awal. Dia mulai belajar mengeja untuk membaca, bersosialisasi dan membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Dibantu dengan adanya Marina, Andrean dan Louis sebagai mentornya, Nadira perlahan-lahan mengubah tatanan baru kehidupannya yang sempat tertinggal selama lima tahun.

“Hari ini Tuan Akalanka yang akan berkunjung kemari, Nona,” kata Marina yang membacakan jadwalnya. “Lalu ada waktu untuk makan malam bersama Tuan Zahair.” Marina menyampaikan kegiatan awal hingga akhir yang harus dilakukan Nadira.

Meski disebutkan seperti itu, kadang-kadang--ups! harus Nadira akui--kalau dia sering lupa, sehingga baik Marina maupun Andrean memiliki pekerjaan tambahan berupa alarm berjalan bagi kegiatan Nadira.

“Baiklah.” Nadira baru saja mengakhiri sesi belajarnya bersama Louis sejam lalu. Kini dirinya sedang duduk-duduk di kursi malas. Kakinya bergoyang-goyang, tidak bisa diam. Dia pun menyesap teh hijau yang disiapkan Marina.

Indra perasa yang sudah kian membaik, membantu Nadira dalam mencecap rasa makanan dan minuman dengan benar. Sebelum-sebelumnya, hanya ada dua rasa yang dia bedakan. Kalau tidak pahit, maka makanan atau pun minuman tersebut akan terasa hambar di mulutnya. Lidahnya seakan kaku dalam mengenali rasa.

Saking kesalnya dengan tumpulnya indra perasa tesebut, pernah suatu hari Nadira sudah bertekad untuk memesan makanan dari luar--karena dirinya sudah dipindahkan ke ruang perawatan yang tidak seketat di ICU--tetapi akal bulusnya digagalkan oleh Marina, karena dia mengetahui jika diam-diam Nadira memesan makanan pedas.

Meski berdalih kalau itu membantunya meningkatkan nafsu makan, membohongi Marina bukanlah perkara mudah.

“Ingat, Nona. Dokter bilang, Anda harus makan yang sehat-sehat selama sebulan ini,” tegas Marina dan menyimpan makanan itu supaya tidak terjangkau oleh tangan jail Nadira yang bisa saja sewaktu-waktu, mencicipi makanan itu tanpa sepengetahuannya.

Nadira melenguh panjang. Dia melirik malang nasib makanan yang baru saja berhasil dia beli. Aroma yang dihasilkan dari masakan itu juga yang membikin Nadira jadi tergelitik untuk mencobanya. “Ayolah, Bi. Satu suapan besar saja,” pinta Nadira dengan mimik memelas.

Marina teguh pada pendiriannya. Itu salah satu yang patut disyukuri, sekaligus disesalinya. “Tidak bisa, Nona.”

Nadira membuang muka. Akhirnya memilih mengalah. Bicara terlalu banyak masih membuat Nadira terasa lemah. Dia rasa-rasanya ingin sekali Nadira berpuasa bicara saking capeknya. Namun, apa di kata. Banyak sekali hal yang mesti dia urus dalam keadaan sadar. Tidak mungkin juga jika dia berinteraksi dengan hanya mengandalkan indra lainnya, sementara mulutnya malah membisu. Kan nggak lucu!

Oya, ngomong-ngomong di mana, Kyra?” tanya Nadira tiba-tiba.

Memang sudah lama sejak Kyra 'asli' membesuknya. Tentu saja segurat perasaan yang tertanam pada hati Nadira masih membekas. Hanya saja, ketidakhadiran gadis itu, lebih mengganggunya.

Reaksi yang Marina tunjukkan sering memiliki kesamaan dengan reaksi yang Zahair, Akalanka dan Alister lakukan ketika pembahasan tentang Kyra, mencuat kepermukaan.

“Nona, sebentar lagi Tuan Akalanka akan kemari, saya izin undur diri untuk menyiapkan kebutuhan, Nona.” Marina lantas membungkukkan badannya sedikit dengan tangan berada di atas dada kiri atas.

Setelah pamit, Marina melangkah lebar-lebar menuju keluar pintu. Dalam ruangan itu, menyisakan Andrean yang berdiri bersama beberapa petugas yang di sewa ayahnya untuk mengamankan Nadira katanya. “Menurutmu, bagaimana, Andrean?”

1825 [ON HOLD]Where stories live. Discover now