Chapter 29

3 1 0
                                    

TIDAK seperti kebanyakan orang pada umumnya yang merasakan sakit ataupun kengerian ketika mendengarkan kalimat kematian, Nadira justru adalah salah satu golongan yang dengan siap menerima kematiannya sendiri ketika terjadi sesuatu terhadap jasadnya.

Makanya, Nadira sendiri merasa keheranan saat dirinya bisa membuka kembali kelopak mata dari tidur yang dia rasa berlangsung amat panjang. Namun, ada yang berbeda dengan dirinya ketika terjaga. Dia memang tidak bisa menggerakkan raganya, tetapi dia dapat berjalan dengan bebas dan menggerakkan tubuhnya ketika raga dan jiwanya terpisah.

Nadira merasa, kalau dia berada di tempat penghukuman, atmosfer putih-putih di dinding digambarkan terlalu tenang untuk orang yang dilumuri dosa. Namun, jika dirinya termasuk golongan yang mendapatkan kesejahteraan yang abadi, tempat yang sekarang ini dia lihat tidak mencerminkan sebagai tempat yang akan mendatangkan kebahagiaan sama sekali. Malah terkesan membosankan karena warna dindingnya yang terlalu biasa. Terlalu umum.

Selama menjalani hari-harinya agar terbiasa dengan ‘tubuh’ barunya ini, Nadira lebih sering menggerutu sendiri karena tidak ada orang yang mampu mendengarkan ucapannya. Namun, Nadira sendiri bisa mendengar dengan jelas suara-suara orang yang mengunjunginya. Pada akhirnya pun, Nadira tetap merasakan ada sesuatu yang kurang dalam dirinya.

Meski Nadira yang tengah terbaring itu sering ditemani dengan orang-orang yang rajin membesuknya, tetap saja ada segumpal perasaan hampa yang dia rasakan--sekalipun ada banyak orang yang mengkhawatirkan kesehatan dan keberadaannya--Nadira tetap merasa ada yang kurang dalam dirinya.

Sesuatu yang berharga sekaligus yang berarti bagi kehidupannya, terlupakan begitu saja. Namun, justru meninggalkan bekas berupa rasa nyeri pada hatinya. Benak Nadira sendiri pun sulit mencerna hal apa yang hilang tersebut. Maka, terpaksalah Nadira menerima keadaannya dan hampir saja bisa merasa tenang, meski terkadang rasa sesak karena melupakan suatu hal penting baginya kerap terjadi.

Baru setelah dirinya bertemu dengan Kyra Willa Bachtiar, gadis berambut sebahu dengan manik mata kelabu yang mirip dengan ibunya, Mirza Bachtiar. Kyra lebih dulu menyapanya kala itu, Nadira bahkan terlalu sibuk untuk  mengamati wajah Kyra dan caranya berbicara yang benar-benar mengingatkannya pada ‘orang itu’ yang ternyata selama ini keberadaannya tersamarkan akibat kemiripan Kyra dengan orang tersebut.

“Mama  ....”  Suara Nadira sendu, air matanya menetes deras di pipi.

Hati Nadira terenyuh kala lisannya berhasil menyebutkan nama seseorang yang memang selama ini tengah dicarinya. Tidak lama dari kejadian tersebut, dia menanyakan pada Kyra perihal ibunya. Yah, walau bisa dikatakan Nadira seperti bicara sendiri, sebab Kyra tidak pernah menyahuti perkataannya.

“Mama Mirza—bukankah seperti itu sekarang kamu menyebutnya, Kyra?” tanya Nadira dengan muka berkaca-kaca. Dia berdiri di samping Kyra yang tengah mengamati raganya dengan intens. Seolah-olah, jika Kyra mengedip sekali saja, Nadira bisa menghilang dari pandangannya.

“Bagaimana kabar Mama sekarang ini, Ky? Aku belum lama melihatnya.”

Sekarang ini, Nadira berusaha untuk mengumpulkan kembali informasi tentang ibunya. Dia sering mencuri-curi dengar dari para perawat yang kerap melintasi ruang ICU-nya, tentang gosip yang beredar mengenai kehidupan Zahair setelah kehilangan seseorang yang amat dicintai. Telinga Nadira akan jadi lebih sensitif, apalagi yang berhubungan dengan keluarganya.

Ternyata dia yang selama ini aku cari, keluh Nadira dalam hati yang tersayat. Jiwanya berkabung dalam sedih. Ingatan tumpang-tindih mengenai ibunya kembali menyeruak. Tenggorakannya terasa kering dan ternyata--meski dia tidak mengiranya--namun rupanya jiwa yang dimilikinya pun dapat mengeluarkan air mata.

Nadira membungkam mulutnya supaya tangisnya berhenti, tetapi apa dikata. Nasi sudah jadi bubur. Dia tak sanggup bahkan jika sekadar berpura-pura tidak ada yang terjadi. “Mama  ...!”

'Tubuh' jiwa Nadira melorot ke lantai. Dinginnya ubin yang biasanya akan terasa, kini indra Nadira seolah tumpul. Dia tidak ingin mendengar apa pun lagi yang mampu menyakiti hatinya. Dia berusaha menutupi kedua telinga sekuatnya, tetapi omongan orang-orang itu terdengar jelas.

“Aku salut sama Pak Zahair itu, meski istrinya udah lama meninggal, tapi dia tetap jadi pria yang setia, ya.”

“Tidak! Mama belum meninggal, kalian pasti bohong!” Tangisan Nadira yang tentu saja tidak akan diketahui oleh makhluk hidup seperti manusia, menyayat hatinya. Dia menggeleng kuat-kuat, menampik kenyataan.

“Eh bukannya istrinya meninggal karena permintaan putri bungsunya itu, lho.”

“Dapat dari mana informasi itu? Kqyaknya itu nggak dikasih tahu ke publik deh.”

“Ada seseorang, yang bisa dipercaya perkataannya. Dia sempat bahas-bahas itu sama salah satu influencer di kafetaria.”

Nadira merasa percuma saja jika dia menutupi pendengarannya, sebab tanpa diminta pun suara-suara yang membicarakan keluarga silih bersahutan. Dia tidak punya kuasa menghentikan omongan tersebut. Nadira memilih berjalan goyah ke arah jendela yang membentang kota metropolitan yang dibalut dengan sinar senja.

“Mama ... ninggalin aku karena permintaanku, ya?” Segurat senyum yang ditandai dengan binar sendu, tak ayal membuat siapa saja yang mempu melihat keadaan Nadira, pasti akan merasa iba.

Kehilangan sosok yang selama ini senantiasa dicintai segenap hati, bagaikan separuh nyawa yang terenggut paksa. Harap-harap untuk bertahan hidup pun jadi berkurang karena ambisi memeluk sosok yang telah hilang. Dia yang berpeluk dengan bumi dan mereka yang masih berpijak di atas bumi, hanya bisa saling mendamba kenyataan yang telah lama tiada dan sukar tereka-ulang.

Sang Kuasa yang mengatur segala dan makhluk ciptaan hanya berjalan sesuai kehendak-Nya. Namun, bagi jiwa yang terbalut luka dan sesaknya rindu, tiada salahnya untuk mengharapkan di kemudian hari. Semoga Tuhan mempertemukan bagi mereka yang ditakdirkan bersama.

•oOo•

Jiwa Nadira lama-lama kian meredup. Seiring berjalannya waktu bagi sang bagaskara kembali ke tempat peraduannya, Nadira sebetulnya masih enggan untuk kembali ke dalam raga aslinya yang tengah terbaring lemah. Dia memang hanya bisa keluar-masuk dari raga itu selepas pagi dan sebelum malam tiba.

Kehadiran Kyra yang menemani Nadira seharian ini, sudah cukup untuk pelipur lara bagi Nadira. Dia juga yakin, keluarganya yang lain pun turut merasakan derita yang serupa. Aku tidak sendirian. Nadira menghembuskan napasnya, bersiap-siap untuk kembali pada tubuhnya.

Namun, belum sempat dia masuk dalam raga, pintu ICU terbuka dan menampakkan wajah Alister beserta Akalanka yang sering dirindukannya. Kehadiran mereka makin menambah binar bahagia bagi hati Nadira yang bersedih.

“Kakak  ....”

Ketika dua orang amat dinantikan kehadirannya berjalan menuju ke arahnya, Nadira tak dapat menyembunyikan keinginan untuk merengkuh mereka. Dia pun berlari dan berupaya untuk memeluk dua orang itu, tetapi yang dia dapatkan bahwa dirinya menembus kedua tubuh yang terlihat segar bugar dan akhirnya berakhir di atas lantai dengan keadaan mengenaskan.

1825 [ON HOLD]Where stories live. Discover now