Chapter 28

3 3 0
                                    


RUANGAN medis yang dipenuhi dengan peralatan serba modern yang mampu memperpanjang hidup seseorang—jika beruntung—hanya bisa terdengar bunyi dari salah satu alat yang memonitor kinerja organ vital seperti jantung dan paru-paru agar tetap stabil.

Ruangan yang biasanya akan dikunjungi pada jam tertentu dan memperoleh pengawasan ketat dari dokter, kini kembali ditinggalkan oleh orang-orang. Mereka sibuk mengurusi kehidupan dan tanggung jawab masing-masing, hanya menyisakan seonggok daging manusia yang sekarang ini tengah terbaring di brankar rumah sakit.

Kecelakaan yang waktu itu pernah hampir merenggut usia mudanya, mengakibatkan gadis berparas rupawan itu harus berpuas diri dengan mengandalkan kecanggihan alat medis untuk menunjang hidupnya.

Dalam mata yang terpejam dan seluruh indra yang dirasa hampir mati rasa, entah sudah di mulai pada tahun ke berapa dia sudah seperti jiwa yang terpisah dari raganya. Karenina, atau orang-orang sering memanggilnya dengan panggilan Nadira—menggunakan nama pemberkatan—sekarang ini sudah tidak asing lagi dengan nuansa senyap yang menyelimuti ruangannya.

Awal mula Nadira merasakan keanehan pada tubuhnya, ketika tanpa sadar dia membuka matanya. Betapa tubuhnya langsung luluh seketika saat dengan mata telanjang, dia dapat melihat keseluruhan jasadnya yang dipenuhi kabel-kabel medis tanpa memerlukan cermin. Sontak saja dia merasakan syok selama beberapa ke depan.

“Ini pasti konyol,” elaknya dari kenyataan. “Mana ada orang yang meninggal bisa melihat tubuhnya sendiri? Benar-benar nggak masuk akal.” Nadira yang kala itu masih terkejut dengan perubahan besar-besaran tubuhnya, kembali dibuat tertegun oleh kedatangan seseorang yang memiliki paras serupa dengannya.

Di hari pertama Nadira bisa merasakan jika beberapa indranya berfungsi baik, hanya saja dia tidak bisa menggerakkan seinchi pun kontrol tubuhnya. Dan, dia pun tidak punya kuasa untuk membuat kelopak mata pada raganya benar-benar terjaga dan memberitahukan seseorang kalau dia baik-baik saja.

Ah, seharusnya memang kalimat, “Aku baik-baik saja,” memanglah kemunafikan belaka. Hingga kini, Nadira bisa saja mendengar apa-apa yang orang-orang bicarakan, dia juga dapat melihat bagaimana orang-orang itu memperlakukan raga aslinya.

Namun, sangat disayangkan Nadira tidak dapat menyentuh mereka sedikit pun. Sentuhannya pasti akan memeluk angin saja. Tubuh Nadira seakan transparan jika bersentuhan dengan badan orang-orang. Bahkan, dia sendiri sempat pingsan ketika mendapati dirinya yang berada di cermin.

Replika dirinya yang terpantul pada cermin, bukanlah cerminan dari tubuh dan wajah aslinya. Bukan pula sejenis tampang menyeramkan yang mendebarkan adrenalin, sehingga dapat memicu ketakutan orang-orang. Bukan hal yang seperti itu.

Hal yang makin membuat Nadira merasakan ketidakstabilan pada kinerja otaknya itu, salah satunya disebabkan karena tidak adanya pantulan dirinya dalam cermin! Padahal Nadira berdiri tegak di depan cermin yang berada di balik kamar mandi. Ukuran cerminnya pun lumayan besar. Kira-kira bisa merepresikan seperempat dari tubuhnya.

“Huftt... okay, tenang Nadira. It’s okay, but not be okay!” ujarnya dengan panik. Dia pun sekarang ini sedang berhadapan di depan cermin dengan jarak tiga puluh senti, tetapi bayangan yang dilihat di cermin, malah berupa dinding kamar mandi beserta perintilan lain yang berseberangan dengan cermin itu.

Akhirnya Nadira memilih mengalah untuk menjaga kewarasannya. Lebih memasuki waktu satu tahun lamanya dia tinggal seperti jiwa yang terkurung dalam ruangan, tanpa bisa melihat dunia selain ruang ICU—tempatnya asyik berbaring.

Kadang kala, dia juga mengamati orang-orang yang silih bergantian membesuknya. Entah itu dari pihak keluarga, sanak-saudara, ataupun anggota medis yang bertanggung jawab atas kesehatannya.

“Hai, Nad-nad. Gimana kabarmu sekarang?” Senyum Nadira seketika melengkung sempurna. Dia bersorak riang karena dapat bertemu dengan kakaknya lagi. Padahal minggu-minggu lalu merupakan jadwal pertemuan mereka, tetapi Nadira sudah rindu rasanya.

Ternyata, itu kali pertama dirinya bertemu dengan makhluk yang serupa dengannya. Panjang-pendeknya rambut yang mungkin menjadi satu-satunya pembeda di antara mereka.

“Kau ini  ... kenapa memiliki wajah yang sama denganku?” tanya Nadira yang tentu saja tidak akan terdengar oleh makhluk selain dirinya. Mungkin. Dia mengapit dagu dengan mengetuk-ngetuk bagian dagu.

Mata Nadira mengamati muka gadis itu dari dekat. “Kamu cukup cantik,” gumamnya. “Oh, bukankah diriku juga terlihat cantik? Ah, melihat dirimu yang begitu mengagumkan, aku rasa, aku pun sama  ... yah, atau mungkin lebih mengagumkan darimu, bukan?”

Nadira senang memuji dirinya sendiri. Dia terlalu hanyut dalam membandingkan diri—yang dia rasa lebih unggul dari kembarannya itu—akhirnya mengetahui jika gadis yang merupakan anak angkat dari Zahair Bachtiar memiliki nama Kyra.

“Namamu cukup unik juga. Kyra Willa.” Nadira menimbang-nimbang tentang sosok Kyra setelah gadis itu memperkenalkan namanya.

Tidak ada yang menarik sebetulnya dari pertemuan pertama mereka selain kenyataan kalau ayahnya itu kembali memungut—ups, mengadopsi anak orang lain. Lagi.

Ah, Nadira juga yakin kalau dia tidak akan pernah melupakan paras yang memiliki kesamaan identik dengannya itu.

•oOo•

Pertemuan Nadira-Kyra menjadi lebih intens. Bahkan Nadira merasa kalau ayahnya itu sengaja mengatur jadwal besuk bagi Kyra jadi lebih banyak porsinya dibandingkan dengan jatah menjenguk yang diberlakukan bagi Akalanka dan Alister.

Awalnya Nadira dengan keputusan sepihak dari Zahair, tetapi apalah daya. Dia tetap tidak banyak memprotes, bukan? Akhirnya Nadira menerima pertemuannya dengan Kyra. Harus Nadira akui, kemampuan komunikasi Kyra tidak begitu buruk juga. Jadi, diam-diam dia pun ikut hanyut dalam percakapan yang orang lihat seperti komunikasi searah.

Nadira sendiri sebenarnya selalu menimpali ungkapan dan pertanyaan dari Kyra, sekalipun jika itu terdengar konyol. Pernah waktu itu, ketika jadwal membesuk Kyra dan Akalanka sedang bersamaan, saat Akalanka izin berpamitan karena ada keperluan mendadak. Kyra yang terlihat masih agak kaku dengannya, menemani Nadira dan mengajaknya berbicara.

Yah, walaupun Kyra pasti menanggap jika tiap ucapannya tidak akan mendapatkan sahutan. Padahal Nadira sudah menjawabnya, meskipun hanya dia seorang yang bisa mendengarkan ucapannya sendiri.

Setelah Akalanka pamit, Kyra mendekat ke arah brankarnya, tempat raga Nadira tengah berbaring. “Ah, seandainya manusia itu bisa melihat ke arahku,” keluh Nadira. Jiwanya saat ini tengah duduk bersila di sofa. Ingin sekali rasanya Nadira menyeret Kyra kemari dan berbincang secara bertatap-tatap.

“Hm, ha-hai, Nadira.”

Sapaan Kyra yang kelihatan canggung membuat jiwa Nadira tidak dapat menahan diri untuk tertawa. Muka pias Kyra lebih pantas dia pergunakan ketika dia berhadapan dengan guru yang galak, bukan saat dirinya bertemu dengan orang yang serupa parasnya.

Saat Kyra menatap iba sekujur tubuh Nadira yang dipenuhi dengan berbagai selang, jiwa Nadira memberengut. “Jangan lihat aku dengan tatapan menjijikkan seperti itu!” protesnya.

Jika saja jiwa Nadira mengirim transmisi suaranya, dia sudah dari dulu-dulu mengusir orang-orang yang menatapnya dengan pandangan simpatik. Seakan-akan mereka paham betul penderitaannya dan itu menjengkelkan sekali.

“Lagian bukan aku pula yang menginginkan keadaan seperti ini,” gerutu Nadira lagi. Meskipun dia memalingkan muka, atensinya kembali terarah pada Kyra yang menggenggam tangannya.

Meski tidak ada sahutan dari Nadira yang sampai hingga ke telinga Kyra, perempuan itu tetap saja berbicara omong kosong seperti sekarang ini. “Bahkan ukuran tangan kita pun mirip, lho, Nad. Kamu yakin, nggak mau lihat kembaranmu ini, hm?”

Ekspresi Kyra terlihat menggelikan di hadapan jiwa Nadira yang terus mengamatinya. “Aku bahkan sudah pernah melihatmu di hari pertama kita bertemu,” dengkusnya. Dia beranjak dari sofa dan berdiri di samping Kyra sambil mengamati ukuran tangan mereka yang memang serupa.

“Tangan kita terlalu mirip untuk dikatakan sebagai orang asing. Tapi, Mama nggak pernah cerita tentang kamu.” Nadira berusaha keras untuk mengingat-ingat, ketika ibunya memiliki banyak kesempatan untuk menceritakan banyak hal padanya, nama ‘Kyra’ belum pernah dia dengar dari mana pun.

“Ah, ngomong-ngomong, Mama di mana, ya?” Selama sekian detik, pikirannya baru saja terpaku jika selama ini, lubang hampa yang selalu dia abaikan keberadaannya ialah dikarenakan tidak hadirnya sosok Mirza sebagai ibunya.

1825 [ON HOLD]Where stories live. Discover now