Chapter 26

3 1 0
                                    

PRIA tambun dengan pakaian serba hitam yang menutupi sebagian wajahnya dengan masker, tampak mencolok kehadirannya di tengah-tengah tinggi anak remaja yang hilir-mudik di gerbang SMANSA guna menikmati akhir pekan agar tidak jemu otak mereka karena disuguhi berbagai pengetahuan sains.

Ephan—nama samaran yang diberikan oleh sang atasan—menjadikan identitas satu-satunya yang diketahui oleh rekan setim dengannya. Bahkan tak jarang orang-orang pun tidak mengetahui perihal identitasnya karena organisasi yang menaunginya sudah puluhan tahun ini menjamin kerahasiaan para anggotanya.

Beberapa kali Ephan kena tegur para penjaga SMANSA yang mengamati gerak-geriknya yang mereka anggap mencurigakan. Namun, Ephan tentu saja memiliki serangkaian alasan beserta bukti kuat yang mendukung dalihnya tersebut, hingga mulut penjaga itu akhirnya terbungkam.

Berbekal dengan identitas sebagai seorang jurnalis, dilengkapi dengan kartu tanda pengenal resmi yang diterbitkan salah satu televisi terkemuka di tanah air.

Ephan berhasil mengantongi izin dalam meliput kegiatan siswa-siswi SMANSA di akhir pekan yang hendak dimuat pada artikel resmi. Sebagai tambahan, pada bagian lehernya, terdapat handy cam yang dijadikan seperti hiasan kalung. Tak lupa, buku catatan kecil dan pensil sebagai perlengkapan untuk menunjang penyamarannya.

Mata bak setajam elang pun tak luput untuk mengawasi seisi bangunan yang luas dan memanjakan indra penglihatan. Sepanjang mata memandang, Ephan mengamati siswa-siswi berjalan mendekati ke arah gerbang sekolah.

Meski dia mengabadikan beberapa gambar dengan kamera berukuran kepalan tangan itu, tetapi pensil yang sedang dia gunakan mencatat itu berfungsi dua kali—ah, atau mungkin lebih efektif dari kinerja kamera yang hanya dia jadikan seperti pajangan saja.

Sebetulnya jika dilihat-lihat dan besar kemungkinan jika orang-orang di kawasan ini memiliki alat pelacak kamera tersembunyi, mungkin sudah sedari tadi Ephan kena sandera penjaga sekolah dan bahkan bisa saja berakhir di perkantoran polisi.

Pulpen dengan badan hitam dan ujungnya sewarna perak itu, merupakan salah satu dari sekian banyak peralatan pada misinya kali ini. Kemampuan pulpen kamera jika dibandingkan handdy cam tersebut, jelaslah kalah saing. Pulpen yang dibuat semirip mungkin pada masanya, jelas saja diminati banyak orang. Di pertengahan pulpen yang dibatasi dengan garis perak, terdapat untuk USB dan penyimpanan memori sd.

•oOo•

Sekiranya terletak di sebelah angka jam sepuluh, tepat tiga puluh langkah dari tempatnya berpijak, sosok yang dia jadikan sebagai targetnya pada kali ini tengah berhadapan dengan gadis tinggi semampai yang tampak sedang mengomel panjang lebar. Namun, reaksi apatis dari lawan bicaranya membuat siapa pun yang melihat perlakuan laki-laki itu, pasti akan merasa iba terhadap nasib gadis tersebut.

Nalarnya secara tidak langsung mencocokkan antara sikap sang tuan muda targetnya dengan seseorang yang sudah dia kenal baik selama puluhan tahun. Namun, belakangan ini, kelihatannya sikap sang anak lebih condong menyerupai ayahnya. Ephan menarik simpul senyuman yang tersembunyi dibalik masker.

“Ck, dari dekat saja dia sudah miripmu Askar.” Netra kelam itu bergantian mengamati sosok lain yang berada di lantai kedua gedung di seberang asrama laki-laki.

Surai hitam sebahu yang tergerai itu bergerak kesana-kemari mengikuti gerakan sang empu. Dari kedipan matanya, Ephan mengamati perawakan gadis itu yang ternyata sedang nyaman bercengkerama dengan kawan karibnya. Pandangan Ephan tiada henti mengawasi dua orang yang diberikan oleh orang yang berkuasa di atasnya. Tanpa mengeluh, dia tentu saja menikmati profesi sekaligus pekerjaannya.

Lebih-lebih karena Ephan tersendiri memiliki niatan terselubung dengan menerima tawaran yang diberikan padanya. Sebisa mungkin, dia berusaha menyembunyikan niatan tersebut dari orang-orang. Apalagi dari pengawasan orang-orang berkuasa di organisasinya. Bisa saja semua rencana yang dia susun sejak awal akan berakhir tragis hingga peristiwa yang lalu-lalu, dapat terulang kembali.

Ephan menghela napas. Dia mengikuti langkah sosok laki-laki yang diamatinya sejak tadi, berderap menjauhi sekolah. Kemudian dia melaporkan hal tersebut pada kawanannya yang memiliki tugas lain ketika Ephan selesai bertugas. Tinggal satu lagi target yang tersisa.

Prasangka manusia yang tidak dapat dicegah mengarah pada paradigma positif atau negatif, Ephan diam-diam merasa miris juga dengan pekerjaannya kali ini yang sering kali disalah persepsikan oleh orang-orang. Padahal kalau mereka lebih jeli sedikit saja, mereka akan menemukan kalau-kalau tindak-tanduknya ini bisa saja menyelamatkan nyawa seseorang, bahkan hingga memberikan kehidupan bagi yang lain.

Namun, karena Ephan bukan tinggal dan bekerja pada lingkungan yang kental dengan empati, tentu saja hal-hal remeh seperti itu tidak ada dalam kehidupannya—atau bisa dibilang kalau hal tersebut mungkin saja mengusik nalarnya, tetapi secara emosional juga tidak mengikatnya dengan erat.

•oOo•

Sebelum mengetahui niat pria paruh baya yang tidak menyebutkan namanya itu, Azriel hampir merasa dirinya bertemu dengan malaikat maut saja. Sosok Ephan memenuhi fantasinya terkait makhluk Tuhan yang bisa saja mengambil nyawanya sewaktu-waktu layaknya mencabut uban. Sebegitu mudahnya.

Maka, ketika Azriel tertangkap basah membuntuti ketiga orang yang terlibat dalam aksi kejar-kejaran, tubuhnya sempat menegang hebat. Denyut jantung berdetak melebihi ambang normal dan rasa-rasanya seluruh tubuhnya akan terbawa angin saja karena rasa lemas yang di deritanya.

Kepala Azriel makin pening, dia menggumamkan, “Jangan mendekat, jangan mendekat,” dengan air muka panik.

Ephan mendekati Azriel tanpa ragu. Sekilas, dia menikmati ekspresi yang ditunjukkan Azriel di depannya. Bukan hal aneh baginya ketika mendapati sorot mata yang menatapnya seperti dirinya bukan kaum manusia. Tentu saja bukan termasuk ke dalam kaum malaikat juga.

“Kau lebih mirip dengan tikus got dibandingkan dengan jiwa singa yang seharusnya menjadi identitas kaum kita, sebagai sesama jantan.”

Perkataan yang kental dengan cemooh itu berangsur menjadi pemicu untuk Azriel bersikap lebih gagah, sedikit berani. Dia balik menatap balik Ephan dengan  menyembunyikan rasa takutnya. Azriel mengedip beberapa kali, lalu mengangkat dagu bersikap sok berani.

“Seharusnya orang seperti Anda ... tidak diizinkan berkeliaran di SMANSA seperti tadi.”

Sebelah alis Ephan terangkat. Dia mengabaikan perkataan sarkas . “Lantas bagaimana jika realitanya bukan seperti itu?”

“Anda  ...,” Azriel bukan Alister yang bisa saja mencemooh orang lain tanpa pandang bulu, ataupun Akalanka yang mempunyai segudang alasan realistis yang bisa membungkam lawan bicara. Dia hanya manusia yang kebanyakan selalu bercanda dan kadang-kadang merasa segan bercakap tidak sopan pada seseorang yang lebih tua darinya.

“Lebih baik Anda berhenti mengejar mereka. Kalau tidak  ... saya akan  .....” Mata Azriel berkeliaran. Dia beberapa kali membenarkan posisi kacamatanya untuk mengurai rasa gugup karena perasaan mengintimidasi dari Ephan.

Suara dari Ephan langsung menyahuti perkataan belum rampung dari Azriel. “Akan apa? Kamu mau mengancam saya, huh?”

Dari nada suara yang digunakan oleh Ephan, Azriel sudah yakin kalau dia tengah diremehkan. “Anak sekecil kamu memangnya tahu apa tentang dunia orang dewasa?”

Azriel mengepalkan tangannya. Giginya silih bergemeletuk menahan marah. Sementara itu, Ephan menepuk-nepuk bahu Azriel.

“Kamu masih terlalu muda untuk ikut campur masalah orang lain, Nak. Dengarkan nasehatku jika kau tidak ingin menjadi pihak merugi nantinya.” Ephan mengisyaratkan dengan gerakan tangan yang seolah-olah menutup mulutnya—disertai gerakan layaknya menarik resleting. “Bertingkahlah seakan-akan kau tidak ingin tahu apa pun. Rasa penasaran yang berlebihan tanpa disertai kemampuan, sama saja seperti omong kosong.”

Lalu Ephan kembali mengejar langkah Kyra dan Hana yang mengarah ke terminal. Sebelum menjauh, dia lebih dulu berbalik badan, menghadap Azriel dan dua jari; telunjuk dan jari tengah yang diperagakan seperti sedang hormat. “Jangan cemas, Bung! Aku adalah orang baik,” katanya setengah berteriak.

Azriel mengeluh dalam hati sekaligus mencibir Ephan kuat-kuat. “Memangnya ada maling yang teriak maling. Ck, menyusahkan orang saja.”

1825 [ON HOLD]Where stories live. Discover now