Chapter 22

5 1 0
                                    


BAGASKARA Group merupakan perusahaan pewaralaba terbesar di Asia Tenggara. Tiap pewarisnya akan  mempunyai hak kelola untuk salah satu cabang industri sebanyak 30% dari total saham yang di tanam. Tak mengherankan dengan iming-iming tersebut, para ahli waris saling bersaing untuk mendapatkannya.

Sekalipun mereka sudah mendapatkan bagian masing-masing, nafsu manusia yang menginginkan hal lebih dari ketentuan, menjadikan insting untuk bersaing makin tak terbendung. Meski ada golongan lain yang menerima keputusan dengan lapang hati, ada saja sekelompok dari orang-orang tersebut yang tamak dengan bagian yang mereka punya.

Sehingga, tak ayal jika sang pemilik kekuasaan--pendiri perusahaan yang dibangun sejak dini olehnya--melakukan pemilihan atas ahli waris. Besar harapan, kalau-kalau pewarisnya nanti akan mengelola harta peninggalannya dengan baik. Maka, ketika para kompetitor mulai memperebutkan gelar juara, pewaris asli yang sah secara hukum, menjadi satu-satunya pihak yang diincar pesaingnya. Padahal, dia sendiri pun tidak menginginkan kompetisi apa pun. Apalagi harta yang sering kali menggelapkan mata.

Berbekal dengan keegoisan bahwa memilih mundur dari perebutan harta keluarganya adalah jalan terbaik, maka seterusnya dia mengasingkan diri dan menghilangkan marganya demi masa depan yang dia yakini kalau-kalau harta bukanlah segalanya. Meski ada peribahasa yang mengatakan kalau segalanya memerlukan harta, tetapi tidak semua harta dapat memenuhi segalanya.

“Kamu yakin jika keputusan ini tidak akan kamu sesali nantinya?” tanya salah satu orang yang telah mengabdikan separuh usianya di kediaman Bagaskara, kepada lelaki muda yang sudah dia anggap seperti anaknya sendiri.

Tuan Muda Bagaskara, begitulah nama penuh tanggung jawab dan iri hati dari berbagai sanak-saudaranya, membuat pewaris tersebut mengulas senyum terakhir pada penjaga yang selama ini kerap membantunya. “Justru aku akan semakin terkekang jika tidak melepaskannya.”

Dia memeluk singkat tubuh pria paruh baya sebagai salam perpisahan. Mata pria tua tersebut sudah berkaca-kaca. “Kumohon, jaga dirimu baik-baik,” pintanya sambil berpamitan. “Aku titip Papa juga. Semoga kalian sehat selalu.”

Melepaskan sesuatu yang telah kita genggam segenap hati, memang bukanlah perkara yang mudah. Lebih-lebih, bagi pria berumur sepertinya. Sedewasa apa pun seorang anak, di mata tiap orang tua, mereka tetaplah menjadi putra kecilnya.

Hingga pada akhirnya, tidak ada perpisahan yang berakhir dengan baik-baik saja, sebab setiap perpisahan akan menimbulkan suasana yang tidak baik-baik saja.

•oOo•

“Tu-tunggu dulu, Kak!”

“Kak Al, tungguuu!”

Langkah Alister menuju gerbang sekolah mendadak terhenti akibat seruan seseorang. Dia pun membalikkan badan dan tampaklah siswa dengan napas yang tidak teratur--mungkin sehabis mengejar sesuatu yang menguras tenaga--menghalangi jalannya. Rambut panjang yang dikuncir itu bergerak seiring langkahnya mendekati Alister.

“Minggir,” usir Alister.

Namun, bukannya menyingkir dari hadapan Alister, gadis dengan busana pemandu sorak yang sering dilihat oleh Alister berada di salah satu sisi lapangan ketika dia dan temannya melakukan pertandingan basket, malah makin menghadang jalan Alister dengan merentangkan tangannya. “Kakak yakin nggak kenal aku?”

Kening Alister berkerut, “Emang lo sepenting itu buat gue kenal?”

Bibir gadis itu menipis, tetapi segera menutupi air muka kecewanya dengan senyuman lebar. “Aku Rain, Kak. Aku dari kelas MIPA-4. Salam kenal!” Gadis bernama Rain itu menjulurkan tangannya.

Tentu saja uluran tangan tersebut hanya dilirik sekilas oleh Alister tanpa minat. Dia menghela napasnya sejenak, lalu menepis tangan Rain. “Lebih baik lo minggir,” desisnya tajam.

Ketika Alister mengabaikan Rain, suara perempuan itu kembali membuatnya berang. “Kenapa Kakak bersikap berbeda padaku dan Kyra?” Alister berbalik dan menunggu perkataan Rain yang sepertinya belum menyelesaikan ucapannya. “Padahal kami satu angkatan, tapi kenapa sikap Kakak beda sekali?”

Rain tertawa hambar. Dia mengipas-ngipasi wajahnya seolah kegerahan. Ketika Rain bersedekap, sambil menatap selidik pada Alister, dia menyeringai karena tampaknya kakak tingkatnya itu jadi memfokuskan diri pada Rain seorang. “Lagian, Kak. Apa bagusnya dia, sih. Paling-paling sama aja kayak anak introvert lain yang gitu-gitu aja.”

Rain terus saja berceloteh omong kosong tentang Kyra, tanpa mengetahui mimik Alister yang sedang menahan diri untuk tidak memberikan bogemnya pada Rain sebagai wanita pertama yang mungkin saja akan dia lukai secara fisik.

“Ya, aku juga setuju, sih, kalau emang cangkangnya itu terlihat bagus. Tapi, siapa yang tahu isi-isinya, kan—” Pergelangan tangan Rain dicengkeram erat oleh Alister.

Jika saja kedekatan jarak di antara mereka karena perasaan kasih sayang, sudah pasti Rain akan merasakan gelitik pada perut dan membuat dadanya berdebar. Namun, meskipun Alister memangkah jarak mereka, tetapi air muka yang memerah karena berang, cukup ampuh untuk membungkam Rain yang nyalinya jadi menciut.

“Sekali lagi mulut lo ngomongin macam-macam tentang Kyra,” Netra abu-abu milik Alister menyorot tajam. “Gue nggak jamin lo masih punya muka buat ketemu orang-orang.” Lantas dia melepaskan cengkeramannya pada tangan Rain dan meninggalkan beberapa lingkar merah di pergelangan tangan.

Rain mendesis pelan karena rasa sakit yang tercipta. Lara pada hatinya saja tidak terobati, tetapi laki-laki yang sialnya malah menempati posisi penting pada hatinya malah memberikan perlakuan kasar. Seandainya jika dia bisa memilih dalam mencintai orang lain, bukan berarti dia harus jatuh hati pada Alister. Rain akan lebih senang jika orang itu bukanlah Alister.

“Lo yang bakalan nyesal, Alister!” teriak Rain tanpa memedulikan peringatan kakak kelasnya barusan. Dia juga sudah menanggalkan kesopansantunan pada laki-laki yang seharusnya sejak awal tidak perlu ramah-ramah darinya.

“Lo cowok gila! Lo nggak tahu logika!” Rain menunjuk-nunjuk Alister dengan murka. Sedangkan orang yang dimakinya, malah terlihat mengabaikan tiap ucapannya.

Napas Rain sudah memburu. Dia menatap nyalang pada Alister.“Lo bakalan dapat karma. Liatin aja!” tegasnya. Setelah meluapkan emosinya, dia pun membalikkan badan dan menjauhi Alister.

Ocehan omong kosong yang diterima Alister dari seseorang yang kerap kali ditemuinya ketika berlatih basket, sedikit-banyaknya membuat Alister merasa jijik. “Pekan depan, gue lebih baik hiatus dari basket dulu,” pikirnya.

Tentu saja Alister mengabaikan teriakan penuh makian dari Rain. Dia melangkahkan kakinya tanpa menoleh sedikit pun. Dia juga tidak tahu jika dalam jarak tertentu--kedekatan yang tidak diketahui oleh orang-orang faktanya--diam-diam dipotret oleh seseorang yang sedari tadi sudah mengabadikan gerak-geriknya.

“Ck, ternyata kamu tidak jauh berbeda dengan Ayahmu, Alister Bagaskara.”

Kemudian setelah urusannya dirasa selesai, dia keluar dibalik tempat persembunyiannya. Kacamata hitam dan topi berwarna senada, dilengkapi dengan penggunaan masker yang makin menutupi rupanya itu, tampak membuat banyak spekulasi yang bermunculan ketika dirinya berpapasan dengan beberapa murid SMANSA.

Namun, dibalik pandangan penasaran orang-orang kepadanya, dia kembali menelusuri seseorang yang dia nantikan keberadaannya. Setidaknya sekotak paket yang kerap dikirimnya ke tempat serupa itu, haruslah sampai kepada seseorang.

1825 [ON HOLD]Where stories live. Discover now