27. Tak Terduga

82 33 1
                                    

"Minta maaf sama Jauza." Sekali lagi suara itu memenuhi rongga pendengaran Rahagi, juga semua orang yang ada di sana.

Selain Jauza sendiri, tak ada siapa pun yang tahu siapa lelaki yang tiba-tiba muncul itu.

"Lo budek apa gimana, sih? Minta maaf!" Dijambaknya lebih erat rambut Rahagi. Persetan jika lelaki itu lebih tua darinya. "Oh ... atau lo mau berurusan sama temen-temen Zaa yang lain? Gampang kok, gue tinggal panggil mereka ke sini, dan lo siap-siap aja tinggal nama."

Rahagi mendesis merasakan sensasi rambutnya yang seakan hampir terlepas dari kulit kepala. Lelaki itu tak main-main.

"I-iya, lepasin saya dulu." Rahagi berusaha melepaskan jambakan itu, tetapi nihil.

"Minta maaf dulu sama temen gue, Brengsek!" desak lelaki itu lagi.

"Baik-baik, saya minta maaf. Siapa pun nama kamu, saya minta maaf."

Jambakan itu terlepas, bersamaan dengan tendangan kecil yang Rahagi terima. "Kenal dia aja nggak, asal nampar aja. Belum tahu lo siapa dia! Mending lo buruan pergi dari sini sebelum gue benar-benar panggil temen-temen gue buat hajar lo!"

Nyali Rahagi ciut melihat tampang sangar lelaki itu. Ia langsung pergi tanpa merealisasikan niat awalnya membawa Oryza pulang. Jangankan membawa, bertemu Oryza pun tidak.

"Mbak nggak apa-apa?" tanya Laith sambil memegangi punggung. Sial! Tak biasanya ia selemah ini.

"Mbak nggak apa-apa," balas Zaa, lantas beralih pada lelaki di depannya. "Makasih, Kaisar."

"Santai aja, Zaa. Lagian tuh orang kurang ajar banget, enak aja asal nampar. Ya, meskipun gue nggak tahu apa masalahnya."

Zaa tersenyum lebar. Senang rasanya bertemu dengan lelaki itu kembali setelah sekian tahun. Teman nongkrongnya itu terkenal sangat sibuk mengurus bisnis keluarga, hingga tak pernah datang tiap Zaa berkunjung ke kafe tempat mereka sering berkumpul dulu.

"Oh iya, Ith. Kamu belum kenal dia, kan? Kenalin, dia teman Mbak, namanya Kaisar."

Laith mengulurkan tangan, segera disambut lelaki itu. "Laith, Mas. Adiknya Mbak Zaa."

"Gue kira suami lo, Zaa." Kaisar tertawa renyah.

"Suami aku di Cirebon. Aku di sini karena ada urusan. Oh iya, pagi-pagi ke sini, ada apa?" Sadar sesuatu, Zaa tertawa. "Duduk dulu, Sar."

Ketiganya duduk di sofa ruang tamu, lupa dengan Oryza yang kini menangis tanpa suara karena rasa bersalah.

"Gue denger dari Gupta kalau lo di sini. Jadi, mampir bentar sebelum berangkat ke kantor, lagian udah lama nggak ketemu lo, kangen gue. Pas banget pula ada yang nyari masalah sama lo," jelas Kaisar.

Zaa mengangguk paham. Senyum terbit di bibir tipisnya.

"Kamu bukan tipikal orang yang sengaja mampir kalau nggak ada keperluan selama jadi orang sibuk. Ada apa?"

Lelaki itu menggaruk tengkuknya, canggung. Mati kutu karena ketahuan ada maksud dari kedatangannya. "Sebenernya, gue mau ngasih ini."

Kaisar mengeluarkan sebuah undangan dari dalam jas, mengangsurkannya pada Jauza.

Zaa menerimanya dengan mata berbinar. "Kamu mau nikah?"

Lelaki itu mengangguk mantap. "Lo inget anak buahnya Gupta yang namanya Kiar, kan? Dia calon istri gue. Dunia emang sempit, Zaa."

"Kiar?" Zaa mencoba mengingat perempuan yang dimaksud Kaisar. "Ah ... anak ceria itu, dengan kisah rumit di baliknya."

"Akadnya di masjid deket rumah dia, Zaa. Kalau bisa sih, gue berharap banget lo bisa dateng, meskipun gue nggak yakin lo bisa. Intinya, lo wajib dateng pas resepsinya. Digelar di rumah gue. Pasti Mama sama Bian seneng bisa lihat lo lagi."

KelamkariWhere stories live. Discover now