13. Hipokrit

103 40 1
                                    

Pandangan orang-orang sekitar warung tempat Laith memarkir motor tertuju pada dua orang itu. Bagaimana tidak mengambil perhatian? Siapa pula yang tidak mengenal Nuha di lingkungan itu? Mustahil tampang familiarnya tak dikenal, terlebih julukan yang tersemat padanya, “Gadis Prostitusi”.

Namun begitu, Nuha tak tampak terganggu sama sekali, ia tak peduli. Bukan hal baru juga ia dipandang rendah begitu, terlalu hafal. Laith pun tampak tak acuh, hingga sempat membuat Nuha merasa aneh untuk sekilas. Karena ingat lelaki itu adik Jauza, ia kembali memilih abai, mengatur ekspresi setenang mungkin.

“Apa maksud omongan kamu tadi?” Tangan Laith mengulurkan sebuah helm pada Nuha, sengaja membawa dari rumah.

Sambil menerima helm tersebut, Nuha menjawab, “Yang mana? Gue ngomong banyak tadi.”

Melihat Nuha kesulitan memasang helm, spontan Laith membantunya. Ia merasa tak ada salahnya sama sekali melakukan itu. “Bahwa orang-orang kayak aku gampang teralih. Juga … berani-beraninya kamu mengatakan Tuhan nggak ada harganya.”

Setelah pelindung kepala berwarna hitam itu terpasang sempurna di kepalanya, Nuha baru menjawab, “Emang bener, kok.”

Laith menautkan kedua pangkal alisnya.

“Logika aja. Kebanyakan cowok yang gue temuin di tempat itu adalah orang-orang berpendidikan, duitnya banyak. Gue yakin mereka anak dari keluarga baik-baik. Bahkan, gue pernah nemuin, bukan gue sih, temen. Dia bilang di tengah-tengah main pengguna jasanya dapat panggilan buat rapat majelis, intinya organisasi keagamaan gitu.”

Laith membulatkan mata. Apa Nuha serius?

“Nyatanya, mereka dengan gampang teralih oleh perempuan, hanya karena mereka punya duit. Contoh lain, ya lo tadi. Gue baru ubah penampilan dikit aja lo udah nggak kedip, gimana gue pakai gamis? Cuma karena sedih juga lo hampir akhirin hidup.”

Nuha sengaja menjeda, sedikit-sedikit melirik sekeliling dan kembali melanjutkan dengan suara lebih kencang, “Contoh juga para masyarakat yang budiman itu. Cuma kedatangan cewek kayak gue, mata sama otak mereka langsung connect buat memproduksi bahan gibahan.”

Hampir saja Laith menjatuhkan rahang mendengar keberanian perempuan itu dalam hal menyindir. Mukanya bahkan sangat tenang.

“Jadi, bener kan, kalau gue bilang Tuhan seakan nggak ada harganya? Hal sesepele itu bisa buat manusia lupa sama Dia.” Nuha sengaja tersenyum manis. “Dan tolong ralat ucapan lo, gue bukan menjatuhi Tuhan nggak ada harganya, gue cuma bilang ‘seakan.’ Ayo, pergi. Panas gue di sini.”

Lihat! Laith tidak bisa menjawab, lagi. Sedikit banyak, ia dapat melihat sosok sang kakak dalam diri Nuha. Mereka sama-sama tak pandang buluh, gaya bahasa mereka pun tak beda jauh, tajam. Meski, Laith akui Nuha lebih serampangan.

Mereka baru benar-benar pergi dari sana setelah Nuha menggeplak lengan atas Laith yang terus diam. Tentu juga setelah mengatakan terima kasih atas tumpangan tempat guna motor Laith.

Seperti dugaan, niat Laith pergi ke kampus gugur sudah. Ia justru mengikuti Nuha yang minta diantar ke salah satu gang sepi tak jauh dari tempat tersebut.

Setelah turun dari motor dan melepas helm, Nuha segera berlari menuju belokan gang dan mengeluarkan isi plastik yang sejak tadi dibawanya.

Laith sempat mendengar Nuha mengeluarkan suara layaknya tengah memanggil kucing. Benar saja, beberapa kucing menghampiri Nuha setelahnya.

“Kasih makan kucing liar?” Sungguh, Laith dibuat melotot lebar. Entah apa lagi kejutan yang akan diterimanya dari perempuan itu.

Pada akhirnya, Laith menyusul dan ikut berjongkok, ikut memberi makan kucing-kucing itu dengan ayam yang dibawa Nuha. Laith yakin, ayam-ayam itu sisa dari salah satu restoran tak jauh dari sana, tampak dari logo yang terdapat dalam kemasan kardus.

KelamkariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang