8. Luka dan Nostalgia

98 36 8
                                    

Sesuai rencana, hari ini Laith, Zaa, bersama Yita benar-benar menghadiri pernikahan Oryza yang katanya sederhana itu. Setelah melewati seminggu yang sungguh menyiksa tentu saja.

Namun sampai sana, Zaa sangsi. Sederhana apanya? Ini lebih seperti pesta rakyat. Dari sana Zaa juga tahu bahwa Oryza adalah putri tunggal dari keluarga yang cukup terpandang, katanya. Ayahnya adalah anggota dewan di tingkat daerah, sedang sang ibu adalah perempuan yang aktif dalam kegiatan sosial di sana. Baiklah, Zaa tahu karena mendengar perbincangan beberapa tamu yang juga hadir.

Sampai sana pula, Laith langsung bertemu dengan Gita dalam balutan kebaya kutu baru berwarna hijau mint-nya, senada dengan dekorasi pesta.

"Git, maaf aku nggak bisa lama, habis nemuin Orza nanti mungkin langsung pulang. Aku sama Mbak Zaa dan Yita soalnya."

Gita tersenyum maklum, ia tahu kondisi antara mereka bagaimana. "Iya, aku paham, kok. Em ... Ith, kamu nggak apa-apa, kan?"

"Kalau dia sudah melibatkan saya, sudah pasti dia kenapa-napa," sahut Zaa tanpa aba-aba, "bukan karena pengecut, bukan juga karena dia adik saya. Dia butuh saya sebagai tuas rem saat lepas kendali."

Kekehan lolos dari bibir Zaa, membuat Gita ikut tertawa kecil. Sementara, si korban hanya mengembuskan napas panjang dan Dayita dalam gandengannya melihat bingung.

"Ya udah, sana ke Oryza. Mari, Mbak!" ajak Gita.

Tak banyak yang dikatakan Laith saat berhadapan langsung dengan perempuan itu. Sekadar ucapan selamat dan semoga bahagia. Pada Pak Rahagi, Laith melayangkan tatapan laser serta menyalami tangan lelaki itu sangat erat tanpa sepatah kata pun.

Zaa pun sama. Bedanya, kakak Laith itu sengaja memeluk Oryza dan berbisik tepat di telinganya, "Saya berharap kamu bahagia. Jikapun nggak, kamu tahu harus pergi ke mana."

"Terima kasih doanya, Mbak. Insyaallah saya akan ingat pesan Mbak." Oryza beralih pada Dayita. "Thanks for coming."

Yita mengangguk, layaknya orang dewasa.

Ganti Oryza yang berbisik pada Zaa, "Mbak, maaf untuk Laith."

Jauza mengangguk sebelum pergi, menggendong sang putra menyusul Laith yang sudah pergi lebih dulu.

Nanar Oryza melihat punggung keduanya pergi. Berat.

Dalam perjalanan kembali ke penginapan mereka, dalam taksi, juga Yita yang tertidur di pangkuan Laith, hening tak dapat dielak. Mujur saja mereka mendapati driver yang tak banyak bicara. Senyap itu mencekik Laith, memang itu yang diingini, sedang Zaa kelewat menyukainya.

"Pak, jadinya kita berhenti di alun-alun kidul saja, ya? Nanti tetap saya bayar penuh sesuai aplikasi," ucap Zaa tiba-tiba.

"Baik, Mbak. Matur sembah nuwun, sebelumnya."

Laith melirik bingung. Untuk apa mereka ke sana, padahal sudah sore?

Seakan tahu rasa penasaran sang adik, Zaa berujar, "Kebetulan teman Mbak di sini, jadi mau ketemu sebentar."

Tak ingin protes, akhirnya Laith mengembuskan napas pasrah. Lagipula, ia juga butuh udara segar untuk bernapas.

Sampai di sana, seakan sudah hafal, Zaa langsung menuju sisi lain alun-alun, mengampiri salah satu pedagang es buah. Tepatnya, menghampiri seorang lelaki yang sudah menunggu di sana.

"Halo, apa kabar, Zaa?" Lelaki berambut agak keriting itu berdiri, lantas melakukan salam dengan tinju yang dibalasi gerakan yang sama pula oleh Zaa.

Laith tertegun sejenak sebelum mengangguk dan tersenyum.

KelamkariWhere stories live. Discover now