26. Kekacauan

95 34 11
                                    

Mengingat pernyataan Nuha sore tadi kembali membuat Laith tersenyum sendiri. Dalam remang kamarnya, lelaki itu tak henti menggulir bola mata, menyapu langit-langit dengan senyum tak pudar.

"Secuil," gumam Laith, lalu terkekeh.

Bagaimanapun, Laith harus bersyukur karena Nuha adalah perempuan blak-blakan yang mengatakan semua apa adanya.

Namun, mengingat Nuha mengatakannya bersamaan Oryza yang kembali muncul tadi, sedikit membuat Laith tak enak sendiri. Perempuan itu mendengarnya dengan jelas.

Setelah mendesah panjang dan menatap Zaa sekilas tadi, Nuha berujar mantap, "Mbak Zaa pernah bilang, Rabiah Adawiyah menyerahkan seluruh cintanya untuk Allah, tapi gue nggak bisa. Gue cuma cewek biasa yang banyak cacatnya, apalagi soal ber-Tuhan. Sama halnya lo atau orang-orang hipokrit yang sering gue bilang ke lo, gue masih sering teralih. Sialnya ... lo. Lo yang buat gue teralih. Jadi, biarin gue kasih lo secuil, karena besar bagiannya, masih dan bakal mati-matian gue usahain cuma buat Yang Punya Kehidupan."

Layaknya orang yang tengah jatuh cinta, muka Laith memerah. Rasa hangat menjalar, memenuhi tiap rongga dadanya. Lihat saja, dengan Oryza dulu, Laith tak pernah sampai seperti ini. Ia lebih sering berucap takjub tiap mendengar Oryza bicara, karena memang itulah yang membuat Laith kagum dulu. Siapa sangka jatuh kali ini membuat lelaki itu lebih payah.

"Aku masih nggak nyangka, ternyata ucapan Mas Ikhtar benar."

Ingatan Laith bergulir pada saat sebelum Ikhtar pulang dua hari lalu. Mereka sempat berbincang berdua memang, tanpa Zaa tahu.

"Kamu sesuka itu sama Nuha?" tanya Ikhtar kala itu.

"Iya." Laith menjawab tanpa ragu. Matanya bahkan berbinar di bawah penerangan lampu teras. "Nuha kayak Mbak Zaa, Mas. Tipikal perempuan yang hanya dengan pikirannya, bisa menarik perhatian siapa pun. Pola pikir mereka misterius, ambigu malah, tapi omongannya bar-bar dan sarat makna banget. Kalau Mbak Zaa bilang, banyak satirnya."

Ikhtar tersenyum simpul, membenarkan ucapan sang adik ipar. Ia saja tak menduga bisa berakhir dengan Jauza, sosok yang jauh dari tipikal perempuan idamannya jujur saja. Namun, perempuan itu memang semenarik itu dilihat dari pola pikirnya.

"Tapi jangan sampai kamu membandingkan mereka berdua, Ith. Zaa dan Nuha itu tetap dua orang yang berbeda. Jangan hanya karena Nuha mirip dengan mbak yang kamu kagumi, kamu jatuh cinta sama dia. Sukai dia karena dia Nuha, bukan orang lain."

"Laith paham, Mas. Justru karena Laith paham bedanya mereka berdua, makanya jadi suka sama Nuha. Kalau persis kayak Mbak Zaa mah, ngeri. Pikirannya ekstrem."

Keduanya tertawa malam itu.

Laith bangkit dari posisi rebah saat pintu kamarnya diketuk pelan. Sebelum benar-benar beranjak membukakan pintu, ia melirik ke arah ponsel yang menyala, yang masih memutar musik dari Youtube. Pukul sembilan malam. 

Segera setelah membuka pintu berbahan jati itu, Laith dibuat mengernyitkan dahi dalam. Oryza berdiri di sana sambil menunduk.

Baru Laith akan bicara, perempuan itu sudah lebih dulu berujar, "Boleh aku bicara?"

Tetap saja, Oryza tak menunggu persetujuan Laith untuk bicara.

"Sedikit saja, apa udah nggak ada perasaan untuk aku?"

Laith mengerjap beberapa kali, tak bisa pula dismebunyikan keterkejutannya atas pertanyaan itu. "Maksud kamu?"

Kini, Oryza sudah mengangkat wajah, menatap Laith tepat di manik mata. Sementara itu, Laith belum bergerak seinci pun, satu tangannya masih bertahan di kenop pintu.

"Aku tersiksa, Laith." Sebulir dua bulir air mata Oryza mulai berjatuhan, membasahi pipi pucatnya. "Aku tersiksa lihat interaksi kamu sama perempuan itu. Harusnya aku yang ada di posisi dia, aku, Laith. Tolong, bilang sama aku, kamu nggak suka kan, sama dia?"

KelamkariWhere stories live. Discover now