23. Petunjuk

77 34 3
                                    

Hasil perenungan Laith malam ini adalah bahwa ia terlalu manja. Menganggap hidupnya paling menderita dan hatinya paling tersakiti. Ditinggal Oryza karena masalah itu, ibunya meninggal, Laith sudah bersikap seakan kehilangan dunia.

Nyatanya, berada di posisi Oryza secara langsung sama sekali tak mudah jika dipikir-pikir, beban mental yang ditanggung perempuan itu jauh lebih besar daripada Laith. Belum lagi masalah Nuha yang baru benar-benar ia tahu pagi tadi.

Selama perbincangan dengan sosok bernama Bu Nuri, meski Laith banyak diam, ia mendapatkan banyak informasi tentang Nuha. Luka perempuan itu, juga alasannya menetap di sana.

Ibunya ditemukan tewas di kamar mami dalam keadaan kepala bersimbah darah setelah diketahui terlibat cekcok dengan pemilik tempat itu. Nuri yang waktu itu sama-sama pekerja seks di sana adalah salah satu saksi mata yang masih bisa ditemui Nuha.

Kasus itu tak pernah diusut, padahal pernah geger pada masanya. Nuri diusir setelahnya, berdekatan dengan pengusiran beberapa pekerja yang juga tahu betul mengenai kematian Kemuning, ibu Nuha. Sayang, saksi-saksi lain itu ditemukan tewas dalam banyak kasus. Dari overdosis narkoba sampai kecelakaan.

Hanya Nuri, tetapi mami tak pernah memberikan Nuha akses menemui perempuan itu. Sesuai kata Nuha, ia baru berhasil mendapatkan alamat Nuri setelah diam-diam masuk ke kamar mami dan menemukan catatan itu. Sebuah keberuntungan.

Laith buntu, bagaimana caranya membantu perempuan itu? Saat-saat seperti ini, ia kembali merasa tak berguna. Ia tak bisa menyelamatkan Oryza, tak bisa mempertahankan ibunya, pun tak tahu harus berbuat apa atas masalah yang menimpa Nuha.

Percakapannya dengan Nuha di perjalanan pulang tadi terngiang, perihal kematian. Laith penasaran, apa masalah itu juga menjadi alasan kenapa Nuha pernah berkata bahwa ia takut kematian waktu itu.

“Kalau kamu belajar makrifat, kenapa kamu takut mati? Apa itu karena kamu belum bisa mengungkap kematian ibu kamu?” Laith bertanya hati-hati.

Nuha tak langsung menjawab tadi, sengaja memejamkan mata dan merasakan angin yang menerpa wajahnya. Laith dapat melihat itu lewat kaca spion.

“Bukannya gue udah bilang, di akhirat nggak ada wifi. Cuma itu,” jawab Nuha tanpa beban.

“Nggak masuk akal,” sangkal Laith.

Nuha langsung terkekeh mendengar balasan Laith. “Gue belajar makrifat tuh bisa dibilang baru, nggak ada apa-apanya kalau dibandingin Mbak Zaa. Mungkin dia sama Om Hisyam udah di titik nggak takut mati, tapi gue masih. Lo pikir mati gampang?”

Giliran Laith yang tertawa. Saking terbahaknya, ia mesti ditepuk Nuha pelan agar berhenti.

“Tapi serius nggak ada kaitannya dengan misi kamu mengungkap kebusukan Mami?” tanya Laith lagi, memastikan.

Nuha menggeleng, masih tampak dari kaca spion.

“Ya itu juga termasuk, tapi kan paling cuma ambil bagian sepuluh persen. Selebihnya perkara amal yang nggak seberapa.”

Laith tersenyum sendiri mendengar itu.

Ditatapnya langit-langit kamar tak habis pikir. Siapa yang akan menduga, gadis yang ditemuinya di jembatan subuh itu menjelma sebagai perempuan luar biasa yang bahkan tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Perempuan yang ia pikir menjadikan alam malakut Tuhan sebagai bahan lelucon, justru jauh lebih tahu tentang Tuhan daripadanya.

Benar kata Nuha, mereka tidak tahu bagaimana ke depannya. Namun, satu hal yang dapat dipastikan Laith saat ini, ia jatuh hati pada perempuan itu dan segala pemikirannya, sejatuh-jatuhnya.

-o0o-

Tak berbeda jauh dari Laith yang tak dapat terlelap karena memikirkan banyak hal, Nuha juga mengalami hal yang sama. Di depan meja usang dalam kamar yang  tiap sudutnya sudah keropos, Nuha tak henti memandangi layar ponselnya. Benda yang berhasil ia beli dari gaji pertama dan keduanya bekerja dengan sang bos yang sesungguhnya.

KelamkariWhere stories live. Discover now