14. Bukan Investasi

93 41 5
                                    

Kembali ke rumah setelah jamaah Asar bubar, membuat Laith mendapat tatapan aneh dari Zaa yang tengah menyapu teras. Seharusnya, jika lelaki itu benar pergi ke kampus tadi, ia baru kembali setidaknya menjelang magrib nanti. Zaa tahu jadwal sang adik yang satu itu. Ditambah penampilan Laith yang sudah bertransformasi hanya karena potong rambut gaya undercut.

Setelah menjawab salam yang dilontarkan Laith beberapa detik lalu, Zaa sama sekali tak mengalihkan pandangan dari adiknya. Lebih aneh lagi jika diperhatikan, Laith tampak sangat tenang, layaknya Laith yang sesungguhnya sebelum kehilangan Oryza pun ibu mereka.

Sudah melewati pintu beberapa langkah, Laith berhenti dan berbalik badan, menatap Zaa lekat. “Mbak, maaf.”

Semakin bingung Zaa dibuat. Satu alisnya menukik tajam. “Untuk?”

For everything, Nuha minta Laith minta maaf sama Mbak.” Laith mengakhiri kalimatnya dengan senyum lebar. Sebelum benar-benar pergi, ia melanjutkan, “But, aku minta maaf bukan karena Nuha, aku tahu aku salah.”

Setelah Laith masuk ke kamar, Zaa mengerjap beberapa kali. “Anak itu bikin merinding, tapi … Nuha?”

Setelah membersihkan diri, Laith kembali keluar kamar, menyusul seluruh anggota keluarga yang berkumpul di ruang keluarga, tak terkecuali Hisyam yang belum dilihatnya sejak semalam.

Lelaki itu langsung duduk di samping sang kakak yang memangku Yita, bersandar di bahunya.

“Kamu kenapa sih, Ith? Aneh tahu, nggak?” protes Zaa, “kenapa tiba-tiba manja gini?”

Jangankan Zaa, ayah dan kakak iparnya pun menatap aneh ke arah pemuda itu. Si kecil Yita juga, anak itu bahkan tampak tak mengenali sang paman yang sudah potong rambut.

“Yang biasanya manjain Laith, kan Ibu, tapi Ibu udah nggak ada. Diem aja sih, Mbak, jangan cerewet.” Laith sengaja memejamkan mata, menghindari bertemu tatap dengan yang lain. Lebih tepatnya, menahan air mata yang entah kenapa mendesak keluar. “Pinjem Mbak Zaa bentar ya, Mas Ikhtar?”

Hisyam menggelengkan kepala tak habis pikir. Anak itu benar-benar.

Pada akhirnya, Zaa hanya bisa mengembuskan napas panjang, memakluminya untuk kali ini. Yita sendiri mulai sibuk memainkan rambut Laith yang serasa menusuk ketika dipegang.

“Kamu mau ikut ke makam nggak, Ith?” tanya Ikhtar.

Masih memejamkan mata, Laith menggeleng. “Aku udah ke makam sebelum pulang tadi, Mas.”

Hisyam mengangguk, lantas bangkit. “Ya sudah, Tar. Kita berangkat berdua saja.”

Ikhtar mengangguk, mereka berdua pun pergi.

Tersisa Zaa, Laith, dan Yita.

“Nanti malam ikut tahlil, jangan kabur lagi,” peringat Zaa, mendapat anggukan dari Laith.

Why did you cut your hair, Uncle?” Tangan anak itu belum beralih dari kepala Laith, masih bermain-main di sana sambil cekikikan karena telapak tangannya terasa geli.

No reason,” jawab Laith singkat, ia tak mau memancing Yita bertanya lebih lanjut, kepalanya pusing. Ternyata, berkeliling tanpa arah di bawah terik bukan pilihan yang bagus. Laith tak mau mengulanginya, sekalipun dengan Nuha.

You should’ve given your hair to me, I want have long hair, but Mama doesn’t give me permission.”

Mendengar keluhan Dayita, Laith dan Zaa hanya tersenyum. Tampaknya keduanya sepemikiran kali ini, tak ingin anak itu bertanya macam-macam.

 Laith membuka mata. “Mbak, Nuha itu orangnya bagaimana?”

Zaa sontak melirik sang adik yang sudah bersandar pada sofa, tak lagi di pundaknya. Yita pun sudah berpindah ke pangkuan pemuda itu, memainkan ponsel Laith.

KelamkariWhere stories live. Discover now