10. Pulang

99 32 2
                                    

"Mbak Zaa apa kabar?"

Entah sudah berapa kali Laith dibuat terkejut sejak subuh tadi. Setelah Nuha pergi, pemuda itu sengaja mengejar. Ia terlampau penasaran dengan sosok Nuha dan bagaimana perempuan itu tahu namanya, lengkap pula. Di sanalah mereka sekarang, tenda penjual bubur ayam pinggir jalan.

Penampilan Laith masih sama, bedanya rambut gondrong yang sempat terurai milik pemuda itu sudah terikat, berkat ikat rambut milik Nuha.

"Kamu kenal sama Mbak Zaa?" tanya Laith.

Perempuan itu melirik sekilas. "Menurut lo, dari mana gue bisa kenal sama lo kalau bukan karena Mbak Zaa? Lo adiknya Mbak Zaa, kan? Masa gue salah ngenalin orang?"

Beberapa kali mata Laith mengerjap. Diabaikannya semangkuk bubur ayam yang masih utuh. Ternyata, Jauza yang membuatnya dikenali perempuan itu. Benar juga, teman sang kakak memang sebanyak itu jika dipikir-pikir, unik-unik pula. Contoh saja Afreen yang mereka temui di Solo. Lelaki itu pernah sengaja mendorong Zaa ke jalan raya saat jalan berdua di trotoar. Untung saja kakaknya ditarik di waktu yang tepat sebelum mobil yang melesat kencang lewat. Alasan Afreen bahkan tak terduga, menantang katanya.

Namun kira-kira, di mana Zaa mengenal Nuha? Sosok perempuan yang bahkan takut mati hanya karena di akhirat tak ada wifi.

Laith mengembuskan napas panjang. "Iya, aku adiknya Mbak Zaa, tapi gimana bisa kamu ngenalin aku sementara kita nggak pernah ketemu?"

Nuha tampak tak peduli awalnya, perempuan itu memilih menghabiskan bubur miliknya yang sisa beberapa sendok saja. Baru setelah meletakkan sendok secara terbalik, ia menjawab, "Lo aja yang nggak pernah lihat gue. Gue sih, sering dulu."

Melongo Laith dibuat. Sering? Apa Laith memang setidakingat itu atau memang kelewat tak peka dengan teman-teman sang kakak? Ah ... yang paling ia ingat adalah sosok lelaki bernama Natiq yang memang pernah nekat datang melamar tetapi berakhir ditolak. Juga, ada Hijir yang sampai sekarang masih berkontak dengannya karena memiliki interest yang sama, Sejarah Islam. Laith bahkan bermimpi mengikuti jejak lelaki itu, melanjutkan pendidikan ke Negeri Kinanah.

"Di mana?" tanya Laith pada akhirnya.

Nuha melirik sebelum benar-benar mencondongkan tubuh, menghadap Laith. Ia lantas memindai lelaki itu lekat sebelum berdecak. "Selain konyol, lo juga bego ternyata. Bener-bener nggak sesuai sama yang pernah diceritain Mbak Zaa."

Belum ada perubahan ekspresi yang ditunjukkan Laith, masih dengan kerutan dahi, bedanya makin dalam.

"Sebelum Mbak Zaa pindah ke rumah suaminya, gue sering main ke rumah kalian. Inget cewek berambut jagung yang selalu lo pandang aneh tiap mau pergi main bulu tangkis? Ah ... gue bahkan ragu lo sadar sama keberadaan gue waktu itu. Lo terlalu nggak peduli sama sekeliling."

Mendengar itu, Laith berusaha menggali kembali ingatannya. Dulu saat masih SMA, saat-saat akhir tepatnya, ia memang sering main ke lapangan kompleks untuk bermain bulu tangkis. Ia ingat, memang ada teman kakaknya yang datang selama kurun waktu itu. Namun, terlalu banyak. Mana ia tahu pasti.

"Dari ekspresi lo, kayaknya mustahil kalau inget," cibir Nuha disertai tawa renyah, "tapi keterlaluan sih, kalau lo sampai lupa sama insiden sendal melayang."

Seketika, Laith membulatkan mata. Benar, perempuan berambut jagung itu. Jadi, itu Nuha? Mereka sangat berbeda, rambut perempuan itu sudah kembali hitam sepenuhnya, mana Laith ingat?

Waktu itu Laith ketahuan telah mengambil buku kesayangan kakaknya. Dari dalam kamar, Zaa sudah mencak-mencak sendiri, mengingat ia sudah janji akan meminjamkan buku tersebut pada Nuha yang sudah menunggu di teras rumah. Dengan langkah seribu, sambil membawa raket, pemuda itu berlari keluar, hendak kabur dari amukan Zaa.

KelamkariWhere stories live. Discover now