7. Melihat Tuhan

113 37 5
                                    

"Muka kamu makin keruh, apa lagi kali ini?" Zaa menaikkan sebelah alisnya tinggi. Melihat sang adik yang baru memasuki rumah dengan ekspresi demikian merupakan pemandangan yang cukup aneh.

Tak menjawab, Laith memilih langsung duduk di sofa ruang tamu, menyandarkan punggung lemas dan menutup muka dengan lengan.

"Yita mana, Mbak?" tanya Laith mengalihkan pembicaraan.

Zaa ikut duduk di samping sang adik. "Sama Ayah di kebun jambu."

Laith menghela napas panjang, kembali memikirkan Oryza. "Dugaan Mbak benar."

Zaa mengerutkan kening dalam mendengar perkataan Laith yang tiba-tiba. Perempuan itu memilih mencondongkan tubuh agar dapat lebih leluasa memandang sang adik.

"Dugaan yang mana?"

"Orang tua Oryza hari ini datang ke kampus. Minta pertanggungjawaban Pak Rahagi. Bukan berupa hukuman, tapi menikahi Oryza." Laith mengembuskan napas lelah. "Tapi Laith belum tahu gimana hasilnya. Waktu pulang tadi, mereka masih di ruang dekan. Yang jelas, berita udah menyebar di kampus."

Ikut tak habis pikir Zaa dibuat. Kenapa hampir semua kasus pelecehan berakhir sama? Apa mereka pikir pernikahan akan menyelesaikan masalah? Meski sudah sering menemui kasus serupa, Zaa tetap geram.

"Kamu ... masih punya pikiran untuk nikahin Oryza?" Hati-hati Jauza bertanya.

"Aku nggak mau egois, Mbak. Kayak kata Mbak Zaa, kan? Gimanapun, aku juga harus mikirin Ibu sama Ayah. Apalagi kondisi kesehatan Ibu memburuk gara-gara ide aku itu." Tawa sumbang Laith lolos. Memang benar kondisi Wulan memburuk setelah hari itu.

Hening, keduanya tak lagi ada yang berbicara setelahnya. Zaa membiarkan Laith kembali merenungi nasib.

Tak lama, bocah laki-laki masuk sambil laria-larian, mukanya semringah.

"Mama!" pekik Yita senang, meski begitu, bukan Zaa yang dihampiri, melainkan Laith. Anak itu langsung naik ke pangkuan sang paman tanpa ragu.

Segera Laith mengulas senyum sedang tangannya menahan bobot anak itu agar tak jatuh. "Dari kebun? Mana jambunya?"

Yita menggeleng polos. "They aren't ripe yet."

Wajah sendu Laith hilang seketika. Saking gemasnya dengan keponakan, ia sengaja mengacak rambut anak itu brutal. Tak peduli bahwa Yita protes.

"Mbak heran kadang lihat kalian berdua. Jarang banget ketemu, sekalinya ketemu kayak lem."

"Ikatan batin, Mbak," jawab Laith singkat, membuat Zaa mendesis.

Yita masih sibuk memainkan kancing kemeja Laith saat Hisyam masuk dan ikut duduk di salah satu sofa. Lelaki itu memandang anak-anak dan cucunya sekilas sebelum memejamkan mata dan kembali menggulir biji tasbih di tangannya.

"Uncle!" panggil Yita, membuat Laith menunduk, menatap mata anak itu. Tangannya sudah sibuk memegangi pergelangan tangannya sendiri. "Where is God?"

Baik Laith dan Zaa terbatuk, sementara Hisyam tampak tersenyum kecil tanpa membuka mata sedikit pun.

Dayita menunjukkan pergelangan tangannya tepat di depan mata Laith. Mata sipit yang coba dibuka selebar mungkin oleh anak itu penuh sorot ingin tahu.

"Pasti Ayah, kan?" lirih Zaa.

-o0o-

Malamnya, Laith tak sama sekali keluar kamar. Untuk makan malam pun tidak. Untung saja Yita tak mencarinya, sudah cukup keriweuhan tadi sore gara-gara mereka berusaha mencari cara untuk menjawab pertanyaan anak itu, dengan kalimat sesederhana mungkin.

KelamkariWhere stories live. Discover now