22. Alasan Nuha

79 34 2
                                    

Hendak membuka pintu kamarnya, Nuha sudah lebih dulu dicegat oleh mami. Perempuan itu langsung melipat tangan di depan tubuh, mengantisipasi apa yang kemungkinan akan dikatakan sang pemilik tempat. Masalahnya, Nuha hafal betul apa yang akan dikatakan mami jika situasinya begini.

“Lo yakin nggak mau ambil job di sini?”

See! Sesuai dugaan Nuha.

“Berapa kali gue harus bilang sih, Mi? Gue nggak mau. Lagian gaji gue masih cukup buat bertahan hidup sama setor ke lo tiap bulan.” Wajah Nuha keruh, ia kesal jika mami sudah bertanya hal yang sama.

Ingin segera masuk, tetapi tangannya yang meraih kenop ditahan kembali oleh mami.

“Nu, lo tahu nggak sih, kalau banyak yang nanyain lo tiap dateng ke sini? Nggak main-main, tarif yang ditawarin pun bisa tiga kali lipat. Itu jelas jauh di atas gaji lo sebulan.”

Nuha menghadapkan badannya sempurna pada mami, menatap perempuan itu tajam. Meski sangat datar, tetapi siapa pun pasti tahu ada kegondokan yang ditahan Nuha.

“Gue bilang, gue nggak mau! Kalau lo mau, ambil aja, gue nggak tertarik dan nggak akan pernah,” sentak Nuha, lalu benar-benar masuk kamar tanpa mempedulikan apa pun.

Di depan pintu yang tertutup, mami mencak-mencak sendiri. “Dasar sok suci lo!”

Di dalam sana, Nuha langsung membanting tubuh ke kasur usangnya. Sebelah tangannya digunakan untuk menutupi wajah dari silau sinar lampu yang tak seberapa.

“Kalau bukan karena almarhumah Ibu, gue juga nggak mau tinggal di kamar sempit ini.” Perlahan, isakan Nuha mulai lolos. Sebulir dua bulir air mata jatuh, menganak sungai di pipi pucatnya. Dipikirkan berulang kali, rasanya tetap amat sesak.

Ia ingin menuruti Laith pergi dari sana, sangat ingin. Namun, ia tak bisa, tidak sebelum tujuannya tercapai, mungkin.

“Ibu, Tuhan baik karena ngirim keluarga Mbak Zaa buat Nuha kan, Bu? Mbak Zaa baik banget sama Nuha.”

Bahu perempuan itu semakin bergetar hebat.

“Kalau hari itu Mbak Zaa nggak tiba-tiba muncul di sekolah dan ngaku sebagai wali Nuha, Nuha nggak tahu bakal gimana jadinya karena berurusan sendiri sama orang tua anak yang Nuha hajar.”

Kelebatan memori pertemuannya dengan Zaa terus terputar dalam kepala, tumpang tindih dengan pertemuannya dengan Laith.

Nuha mengusap air matanya kasar dengan punggung tangan. Ia kini menatap langit-langit gamang. Tak lama, sebuah senyum tipis terbit.

“Nggak apa-apa, Bu. Nuha bakal bertahan di sini, sampai berhasil buat Mami bertanggung jawab atas kematian Ibu ... atau mungkin kalau Nuha udah capek.”

-o0o-

Meski sudah tahu Oryza berada di rumahnya, tetap saja Laith tak terbiasa melihat sosok perempuan itu, sepagi ini pula. Jika begini, weekend yang sudah ia rencanakan akan berdiam diri di rumah seharian harus kandas, ia akan lebih memilih keluar.

Mendapati Oryza tengah berkutat dengan alat dapur bersama sang kakak sukses membuatnya berjengit, padahal tadi sudah sempat bertemu saat jamaah Subuh bersama keduanya. Ikhtar tentu sudah kembali semalam.

Sambil menggendong Yita, lelaki itu duduk di kursi makan, lantas mendudukkan anak tersebut di atas meja, menghadapnya. Yita sibuk dengan rubik milik Laith.

“Mbak, nanti aku ajak Yita pergi, ya? Mungkin jam sembilanan,” pamit Laith.

Zaa yang semula menunduk, mengangkat wajah. Satu alisnya terangkat. “Tumben, mau ke mana?”

KelamkariWhere stories live. Discover now