5. Hukum Tuhan

106 31 8
                                    

Dalam bangunan serba putih itu, Yita sama sekali tak mau mengangkat wajah, menenggelamkannya dalam-dalam di ceruk leher Laith yang menggendongnya. Anak itu takut rumah sakit, tetapi tak mau ditinggal Laith maupun Zaa di rumah. Alhasil, di sanalah mereka bertiga.

Setelah Ikhtar pulang pukul delapan tadi, Zaa dan Laith langsung bertolak ke rumah sakit, mengunjungi Oryza. Kini, mereka sudah berdiri di depan ruang perempuan itu dirawat.

Diketuknya pintu beberapa kali, mengucap salam, lantas membukanya. Pemandangan pertama yang mereka lihat adalah Anis yang tengah menyuapi Oryza buah.

"Apa kabar, Oryza?" sapa Jauza dengan senyum ramah.

Jujur, keduanya bingung saat Zaa masuk. Mereka belum pernah melihat perempuan itu sebelumnya. Namun, kebingungan itu sirna saat Laith muncul.

"Maaf, aku ngajak Mbak Zaa dan anaknya ke sini," ucapnya. Dirasakannya pelukan Yita semakin kuat, tetapi belum mengatakan apa pun.

"Saya sudah mendengar semuanya dari Laith. Karena itu, ada yang ingin saya bicarakan," tukas Jauza.

Oryza memandang perempuan itu ragu. Meski sering mendengar cerita Laith tentang kakaknya itu, tetapi ini terlalu mengejutkan. Baginya, Zaa tetap orang asing.

"I wanna go home, Uncle. I am scared," cicit Yita.

Suara anak itu sukses mengambil atensi semua orang yang ada di sana, terlebih Oryza. Ia tak menyangka anak sekecil itu bisa dengan sangat fasih berbahasa Inggris.

Laith berusaha mengurai pelukan Yita agar bisa melihat ekspresinya, tetapi tak bisa. Anak itu terlampau erat menautkan tangan di leher lelaki itu.

"Kamu bisa ajak Yita ke taman dulu, Ith. Biar Mbak yang bicara sama Oryza." Senyum Zaa mengembang. Diusapnya kepala sang putra lembut. "No one can scare you, Boy."

"Want an ice cream?" sambung Laith, membuat anak itu menatapnya dengan binar seketika, lantas mengangguk semangat. Laith beralih pada Oryza. "Aku pergi dulu, Ryza. Mari, Bu Anis."

Setelah lelaki itu menghilang di balik pintu, Zaa mendekat ke ranjang. Tanpa diminta, Anis menggeser tubuh, membiarkan Zaa berada di posisinya sebelumnya.

Meski canggung awalnya, Oryza merasa semua berubah saat tangannya digenggam erat oleh Jauza, sedang di bibir perempuan itu tersungging senyum teduh.

"Mau berbagi beban dengan saya?"

-o0o-

Tak ada yang bisa dilakukan Laith setelah mendengar keputusan Oryza lewat sang kakak. Ia ... buntu. Memaksakan kehendaknya sendiri juga tak mungkin. Jika itu ia lakukan, sama saja ia tak menghargai keputusan Oryza sebagai manusia yang berhak menjalani hidup dengan pilihannya sendiri.

"Mbak, aku harus apa?" Sudah berulang kali pertanyaan itu terlontar, tetapi tak satu pun yang mendapat jawab.

Masih duduk santai di kursinya, dipandangnya sang adik dengan alis tertaut. Tak ada raut prihatin atau mengiba sama sekali. Remang lampu teras rumah malam ini pun seakan tak mau ikut andil dalam kalut Laith, bersinar tak acuh.

"Mbak Jauza!" Lagi, kali ini sukses membuat perempuan itu mengembuskan napas panjang.

"Baru kali ini Mbak lihat kamu ngerengek," ejek Zaa disertai kekehan kecil. Ekspresinya berubah serius seketika. "Kamu pikir, membantu orang yang nggak mau dibantu itu akan berhasil? Ith, ini bukan hal yang bisa kamu lakukan diam-diam kayak sedekah. Apa pun langkah yang kamu ambil untuk menyelesaikan masalah ini, akan selalu melibatkan Oryza sebagai korban. Pengakuan dia yang paling utama."

Hening beberapa saat. Zaa melayangkan jauh pandangan ke depan sana, mengamati lamat jalanan sepi depan gerbang rumah. Meski gelap, dapat dilihat dengan jelas ada lubang di aspal itu, cukup kecil.

KelamkariWhere stories live. Discover now