-1- Rasa di Balik Tawanan

Start from the beginning
                                    

"Kamu mau menikmati makan malam bersama suamiku?" pertanyaan Zasha ia ganti.

"Masih saja bertanya, aku sungguh tak berselera kalau ada mbak di sini," jawab Nara.

"Seharusnya yang mengatakan itu aku terhadapmu Nara."

"Apa-apaan sih mbak!"

"Kamu yang kurang hajar! Bagaimana mungkin meminta lelaki yang sudah beristri bahkan duduk di hadapanmu sekarang untuk menjauh dari meja makan, seharusnya yang berjarak itu kamu, karena kamu hanya selingkuhan suamiku."

Ucapan pedas dari Zasha membuat Harza berhenti mengunyah lalu memandangi istrinya cukup kesal, ia juga menghempas sendok sehingga berdentum cukup kencang.

"Bukankah Nara sudah mengatakan ingin makan berdua saja bersama saya tanpa gangguan darimu? Kenapa masih bertanya?" sentaknya.

"Rasanya sangat lucu Mas, ketika selingkuhan ingin berdua di depan istri sahnya_"

Byuur

Belum selesai ucapan itu terlontar air dingin membasuh keseluruhan wajah Zasha, siapa lagi kalau bukan Harza yang seharusnya menjadi pembela justru sebaliknya. Apa yang Zasha harapkan, Harza bersikap manis, sejak kapan seorang pembantu bisa berubah menjadi ratu, itu hanya ada di dalam drama saja.

"Istri sah? Ck, sejak kapan saya menerimamu sebagai istri, hubungan kita sebatas coretan tinta di atas kertas, jangan pernah berharap lebih, lagipula, saya menikahi pembantu? Di mana akan saya letakkan wajah ini?"

Zasha diam, ia hanya bangkit dari duduk lalu melangkah mengambil kain kering untuk mengeringkan lantai yang basah, enggan menjawab ocehan Harza, cukup sakit rasanya dan ia harus tahu diri.

"Gara-gara dia makan malam kita terganggu sayang," celetuk Harza pelan.

"Seharusnya kita makan di restoran, jangan di rumah kamu."

"Besok ya. Sekarang, apa yang akan kita lakukan?"

Zasha menghela napasnya begitu panjang dan pedih, seringaian dan tawa manja membuatnya merasa jijik, ini sudah terjadi bahkan sehari setelah Harza mengucapkan ijab qabul

Pernikahan yang didatangi dengan sorot tanpa kebahagiaan orangtuanya dari kampung akan tetap menjadi abadi yang tak akan terlupakan, bahkan ikatan ini tak mungkin diungkapkan kepada semua tetangga di sana, karena akan semakin berdampak dengan hidup Umi dan Abinya, berita dari mulut ke mulut mungkin akan merenggut nyawa mereka secara pelan demi pelan.

Bukankah sebuah kesalahan datang dan bekerja di sini, rumah mewah bertingkat dua dengan interior indah membuat pandangan mata Zasha bersinar, pertama kali ia datang disambut tenang oleh Harza maupun keluarganya, diperlakukan baik tepat di hadapan Umi dan Abi, menerima dan memberi tawa tampak sangat tulus.

Namun, beberapa bulan setelah kedua orang tua Zasha meninggalkannya di sana, raut dan tatapan mereka berubah, kalimat-kalimat sindiran mulai terdengar dan Zasha telah terikat.

Hingga malam itu, saat Harza datang lalu mencium dirinya tiba-tiba membuat Zasha terkesiap, terlebih kala Harza berucap lirih. "Aku mencintaimu."

"Sayang, jangan di sana."

"Beb, ayolah."

Zasha menutupi kedua telinganya dengan kuat, suara yang seolah diperkeras membuat wanita itu sungguh sangat merasa muak, sudah berapa kali ia mendengar namun masih mengusik menjijikan.

Bangkit Zasha lalu melangkah tergesa ke lantai atas, di sana ia disuruh tidur, bukan bersama suami yang sekarang justru bergelut mesra dengan wanita yang bukan mahramnya.

Setidaknya ini lebih baik, suara tadi tak terdengar dan Zasha tetap tidur di kamar yang nyaman tanpa terusik, namun satu hal, perasaannyalah yang menjadi sumber masalah, seharusnya Zasha sadar diri bahwa ini tak pantas.

"Umi, Abi," panggil Zasha pelan sembari menerima hembusan angin sejuk dari balkon kamarnya, lampu hias yang memenuhi taman rumah Harza membuat perasaan gamang tadi sedikit terobati.

"Kalau nanti Umi menelfon jangan tanya Zasha baik-baik aja ya? Zasha sudah banyak berbohong."

"Zasha takut Umi, sungguh ini seperti neraka, menikah dengan cara memberi luka terhadap Umi dan Abi. Apakah ini benar hanya pernikahan di atas kertas? Apa Zasha bisa bahagia setelah menyakiti perasaan Umi dan Abi?"

"Putri Zasha."

Panggilan lirih yang teramat ia kenali mulai berbisik pelan, berdengung lembut yang membuat Zasha menoleh menatap pintu yang tengah tertutup, ini sudah kesekian kalinya suara parau nan sendu itu memanggil namanya, bahkan sangat lengkap.

"Putri Zasha, maaf."

Pelan tapi pasti Zasha beranjak masuk lalu terduduk di atas kasur, menerawang ke luar yang tak mungkin menampakan apa-apa.

"Terlalu sering kamu bersikap seperti ini Mas, jangan membuatku semakin terpenjera dalam rasa."

"Jangan hukum diri ini."

---•••---

Hallo kakak. Ketemu sama aku lagi nih. Ini tak ada perpoligamian ya, dan maaf kalau ada salah dalam pengucapan, ataupun typo tandain ya biar bisa aku perbaiki.

Semoga suka. Vote dan komennya jangan lupa..

Emot cintah

Rasa di Balik TawananWhere stories live. Discover now