Shaga mengangguk mendengar jawaban dari pertanyaan yang dia lempar tadi sebelum pergi mandi. Mengenai apakah benar Natasya menghubungi Hazel sebelum meninggal. Ternyata yang Lilian katakan di makam hanyalah kebohongan, tidak heran sebenarnya, tapi Shaga menanyakan hal ini hanya untuk memastikan saja, bagaimanapun, Hazel pasti akan di jadikan salah satu saksi jika kasus ini di terima laporannya oleh kepolisian.

"Sebelum benar-benar di matiin, aku dengar teriakan Natasya. Memang kedengaran lagi sakit, tapi...." Hazel tersenyum kecil menatap Shaga. "Aku nggak peduli, dan nggak ada niat telepon balik. Mungkin kedengaran jahat tap—" Hazel mendelik, memukul lengan Shaga ketika cowok itu mendadak memasukkan nasi ke mulutnya.

"Nggak apa. Mungkin kalau aku jadi kamu juga bakal ngelakuin hal yang sama. Rasa kecewa dan marah kadang bikin kita nggak peduli. Bukan kamu aja yang abai sama Nat, tapi aku juga, bahkan lebih parah," jelas Shaga.

"Menyesali, sedikitpun nggak akan bikin keadaan lebih baik. Aku bilang gini karena aku mengalaminya sendiri. Jadi..., sekarang aku cuma ingin bantu Natasya dapat keadilan. Walau mungkin tante Lilian gak berniat membunuh, tapi menyiksa anak sampai kehilangan nyawa, ya, sama aja kasusnya. Kamu marah nggak kalau aku masih bantu Nat?"

"Kalau aku marah, memang kenapa?"

Shaga menunduk, menatap piring di tangannya. "Nggak apa-apa, marah aja. Tapi aku bakal tetap bantu Nat, buat terakhir kali. Sebagai balasan kebaikan dia juga yang dulu selalu ada buat aku."

Bibir Hazel berkedut geli melihat Shaga yang mengatakan tidak apa-apa, tapi gelagat cowok itu menunjukkan bahwa dia gelisah. "Ya udah, sih. Lakuin aja, kamu memang nggak peduli kalaupun aku marah."

Shaga langsung mendongak, melihat Hazel yang menatapnya datar. "Nggak apa-apa kalau kamu marah, aku punya waktu seumur hidup buat minta maaf."

Hazel mendecih. "Kamu pikir aku maafin?"

Shaga mengangguk. "Karena aku ganteng kayaknya kamu bakal maafin," ujarnya membuat Hazel melengos. Shaga dan kepercayaan dirinya, selalu berhasil membuat orang sekitarnya malu sendiri.

"Jadi papa udah laporin kasus ini?" tanya Hazel.

Shaga mengangguk. "Tadi ada kabarin aku, kalau dia udah di kantor polisi. Bawa Mbak Nur juga karena dia juga saksi," urainya dengan helaan napas panjang. "Semoga mbak Nur mau jujur di sana."

"Memang kamu pikir mbak Nur nggak jujur?"

"Ya jelas. Dia tadi malam bohong sama aku. Bilang bahwa kamu orang yang nyuruh Tante Lilian buat siksa Natasya. Itu namanya nggak jujur."

"Mungkin mbak Nur—"

"Udahlah aku nggak mau bahas ini, rasanya kepala mau pecah. Biarin Papa aja yang urus, yang penting buatku bukan kamu dan kamu nggak terlibat dalam kematian Natasya. Udah cukup buat aku tenang."

Hazel diam saja tidak menjawab apapun lagi. Entah apa yang gadis itu pikirkan karena Hazel tampak melamun walau mulutnya beberapa kali menerima suapan yang Shaga beri. Gadis itu sendiri sampai tidak sadar bahwa alasnya sudah kosong dan kini Shaga menyodorkan gelas berisi air putih beserta beberapa butir obat.

Hazel terima obat itu, memasukan semuanya ke mulut lalu menenggak air sampai habis.

"Obat kamu banyak banget, yang." Shaga berujar heran, dia mendekat dengan tangan membawa dua botol obat sirup.

Hazel tidak menanggapi, lebih memilih diam dan menurut saat Shaga membantunya meminum dua sendok obat itu. "Udah semua, 'kan?" Hazel mengangguk, dia mulai berbenah brankarnya. Mengatur bantal agar nyaman karena efek obat mulai bereaksi memberikan efek mengantuk.

SHAGA (SELESAI)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin