27. Tentang yang di tinggalkan dan yang meninggalkan.

4.1K 315 173
                                    

Kalut, satu situasi yang sedang Marselio rasakan saat ini. Tatapan matanya kosong menatap lurus lantai putih rumah sakit saat ini. Menyesal, sudah pasti. Seandainya ia tidak menyuruh Hanan untuk pulang sendiri ini mungkin tidak akan terjadi.

Seharusnya ia sadar bahwa kata-katanya waktu itu tak seharusnya ia ingkari untuk mengantar-jemput Hanan kemanapun i pergi. Satu kali, hanya satu kali Marselio membiarkan Hanan pergi sendiri, lihat apa yang terjadi pada pemuda yang saat ia cintai itu. Terbaring di rumah sakit berjuang demi hidupnya sendiri, Marselio tidak bisa tak menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang sudah ia lakukan pada kekasihnya itu.

Pukul 2 dini hari, handphone miliknya berdering, nama Hanan tertera di sana. Tidak pernah Marselio bayangkan bahwa panggilan tersebut mengabarkan berita buruk tentang kekasihnya yang kecelakaan di perjalan pulang, bertabrakan dengan dumptruk yang blong rem nya. Serta supir yang mengantuk dari taksi yang Hanan tumpangi.

Dengan begitu Marselio tinggalkan segalanya, berlari keluar rumah dengan air mata yang mengenang di pelupuk mata miliknya. Berdoa kepada Tuhan agar Hanan segera sadar dari koma yang bunda kabarkan padanya. Di perjalanan tak henti-hentinya Marselio mengutuki diri, menyalahkan dirinya kenapa tidak ia saja yang mengantar Hanan pulang, kenapa tidak ia kesampingkan ego dan rasa cemburu saat itu juga.

"Bunda?" Panggilannya dengan lirih ketika ia mendapati kedua orang tua Hanan sedang duduk sambil berpelukan di kursi tunggu di depan kamar rawat inap putra mereka.

"Lio.." Ujar Bunda dengan lirih, ia menatap Marselio dengan tatapan terluka, takut, dan segala pikiran buruk yang menghantui kepalanya. "Hanan, Lio." Katanya lagi. Marselio mendudukkan diri samping Bunda, menarik Bunda dari kekasihnya itu untuk masuk ke dalam pelukannya.

"Gapapa, Hanan baik-baik aja. Anak Bunda itu anak yang kuat." Kata Marselio, mencoba menenangkan padahal dirinya sendiri lebih takut dari siapapun itu. Hingga beberapa menit setelahnya dokter yang memeriksa Hanan sudah keluar dari kamar. Johannes yang melihatnya, bahkan Bunda juga Marselio langsung saja berdiri begitu mendapati dokter suka asistennya berdiri di depan pintu dengan ekspresi wajah yang tak ingin Marselio lihat.

"Keluarga saudara Hanan?"

Johannes lantas mengangguk dengan cepat, membenarkan.

"Pak, ada masalah di jantung kiri nya saudara Hanan di karenakan adanya benturan yang sangat keras saat kecelakaan terjadi, sehingga menyebabkan jantung pasien tidak bisa bekerja dengan baik, terdapat kebocoran yang bisa menyebabkan kematian kalau tidak segera di operasi."

Bunda menangis makin kejar ketika mendengar hal tersebut, anak semata wayangnya kenapa harus diberi musibah seberat ini?

Johannes yang tidak tahu arus apa lagi makin merasa tidak berdaya ketika melihat sang istri menangis dengan pilu, meratapi apa yang terjadi pada anak satu-satunya mereka. Jalan satu-satunya hanyalah menyetujui operasi yang di sarankan oleh dokter yang menangani sang anak.

"Baik dong, kalau begitu saya setuju untuk melakukan prosedur operasi untuk anak saya."

Dokter pun mengangguk, mengajak Johannes untuk mengikuti, mengurusi tentang prosedur operasi yang akan di langsungkan nanti.

Marselio terkesiap ketika dua sahabat dari Hanan datang dan menarik kerah bajunya dengan begitu kuat. Orang itu adalah Reka yang menatap benci ke arah Marselio saat ini.

"Gara-gara lo! Gara-gara lo dia masuk rumah sakit! Seandainya lo gak egois, Kak.." Reka sudah meneteskan air matanya, "dia gak mungkin terbaring di rumah sakit kayak gini! Seharusnya dari awal gue gak biarin Hanan deket sama orang jahat kayak lo!" Katanya dengan penuh emosi, menyalahkan keadaan yang ada dengan melampiaskannya pada Marselio sendiri.

[END] It's Okay, Kak.. Where stories live. Discover now