22. Pencuri

10 2 0
                                    

Mungkin memang belum, tapi kurasa secepatnya akan berubah.
Ya… berubah. Perasaanku padamu.

Klarifikasi yang kulakukan secara mendadak itu membuat semua guru yang tidak mengisi kelas turut memperhatikan dari dalam lingkungan sekolah. Bu Onanda berdiri paling depan dan menatapku dengan raut wajah yang tak bisa kuartikan. Kasta yang berdiri di sampingku bicara dengan Guru BK mengenai buki yang kami bawa. Dia ingin membersihkan namaku. Alhasil guru BK memintaku menghadapnya.

Aku tak tahu apa yang Bu Onanda pikirkan, tetapi sepeninggalanku menuju runag BK dia terus memperhatikanku. Pikiranku sudah mulai tak tenang.

“Anara nanti jam istirahat kita menghadap kepala sekolah, ya,” kata Bu Ranum sebagai penutup setelah aku dan Kasta memperlihatkan bukti dan menjelaskan hal serupa dengan media tadi.

“Iya, Bu,” jawabku.

Lalu aku dan Katara permisi pamit dan benar saja Bu Onanda sudah menungguku di depan pitu ruang BK. “Anara, ikut ke ruangan saya dulu, ya.”

Aku mengangguk bersiap untuk mengikuti Bu Onanda sementara Kasta menyemangatiku dengan lambang tangannya. “Fighting,” suaranya pelan tapi masih bisa terdengar dengan jelas.

Begitu sampai di meja Bu Onanda aku duduk dengan hati yang cukup cemas. Kupikir Bu Onanda sudah mengambil keputusan atas semua yang terjadi kemarin. Namun, aku tetap coba meyakinkan hati.

“Anara, saya lega kamu tidak seperti yang dibicarakan seperti di media.” Bu Onanda mulai buka suara.

“Terima kasih, Bu. Saya juga lega,” jawabku sopan.

Bu Onanda senyum sambil menghela napas. Dia menatapku persis dengan tatapannya tadi pagi ketika baru pertama kali melihatku. “Karena kasus kemarin…” ucapannya menggantung.

Matanya yang semula menatapku kini beralih ke bawah. Dari gesturnya dia tampak tak enak hati untuk menyampaikan apa yang akan ia sampainkan ini. “Projek web series kita sudah saya alih serahkan ke World Entertaiment, otomatis semua produksi akan diawasi oleh Nabi,” lanjut Bu Onanda.

Cukup syok mendengar perkataan Bu Onanda barusan, aku terdiam beberapa saat menvoba mencerna. Kupikir tidak akan semudah ini, tetapi ternyata sungguh diluar dugaanku. Mencoba tetap stabil, aku menanggapi perkataan guru seni budayaku ini. “Alasannya hanya karena kasus yang belum jelas kepastiannya kemarin?” tanyaku.

Bu Onanda mengerjap bebrapa kali dan mengalihkan pandangan. “Kasus kamu kemarin bukan hal sepele, Ra. Tentunya untuk nama RE yang sebesar itu, nanti akan berdampak juga ke web series serta sekolah kita.” Bu Onanda bicara dengan hati-hati. mungkin bertujuan agar tak melukai perasaanku, tetapi sudah terlanjut mengecewakan dan melukai harga diriku.

Aku diam lagi. Sungguh menyebalkan melihat bahwa kali ini Nabi berhasil mengalahkanku. setelah cukup lama diam, aku mengangguk-anggukkan kepala bersikap bahwa aku memahami kondisinya saat ini. “Baik, terima kasih penjelasannya, Bu.” Aku berdiri dari duduk.

“Anara, saya belum mengizinkan kamu berdiri,” kata Bu Onanda.

Aku menatap Bu Onanda dengan kekecewaan yang tak terkira. Memberikan senyuman agar tetap terlihat sopan. “Saya pikir Ibu sudah menyampaikan semuanya.” Aku membungkuk sambil menundukkan kepala. “Saya permisi, Bu.”

“Saya paham kamu kecewa, tetapi saya tidak bisa berbuat apa-apa.” Bu Onanda kembali bicara dan responsku hanya senyuman yang mengisyaratkan bahwa aku tak apa.

Aku keluar dengan perasaan yang campur aduk. Masih sulit kupercaya bahwa projek yang kurancang dan kubuat konsepnya dari awal kini lepas dari genggamanku. Masih begitu sesak rasanya untuk sekadar mengikhlaskan apa yang sudah kurancang sedemikian rupa jatuh ke tangan orang lain. Belum lagi kenyataan bahwa orang itu adalah Nabi.

Hope for SecretWo Geschichten leben. Entdecke jetzt