1. Merasa Paling Beruntung

97 13 63
                                    

Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh pagi. Tanganku meraih kardigan cokelat di dalam lemari lalu memasangkannya ke tubuh mungil ini.

Rambut yang ikut masuk ke dalam kardigan kukeluarkan dan menatanya sedikit agar tidak terlalu kusut.

Celana jeans pendek yang menutupi setengah paha berpadu dengan sepatu kets putih. Senyuman di bibirku mengambang begitu melihat pantulan diri di cermin besar. Betapa manisnya manusia ini.

Sebelum keluar dari kamar tak lupa kuambil tas sandang lalu mengecek ponsel. Lagi-lagi senyuman tercipta di wajahku pagi ini. Sepertinya hari ini sudah tak terhitung berapa kali aku tersenyum.

Vios

Okay. Hati-hati, Ra

Harusnya bilang gitu ke Pak Supir

Aku terkekeh melihat pesan yang baru saja kukirim. Dan belum sempat kumasukkan ponsel ke dalam tas sudah kembali berbunyi.

Vios

Pak, Hati-hati bawa mobilnya
Sampaikan sama Bapak Supirnya, ya, Ra

Wkwkwk
Siap

Setelah itu ponsel benar-benar hening sampai aku tiba di meja makan.

Sudah ada dua wanita yang menungguku di sana. Pertama Bu Aniya yang merupakan istri ayah. Sekarang dia menjadi wali tunggal karena ibu dan ayah kandungku sudah meninggal.

Lalu yang kedua ada Kak Mai. Kami satu ayah dan satu ibu. Namun, nampaknya hubungan kami tidak begitu baik tiga tahun belakang ini.

“Duduklah kalau kamu mau makan dulu.” Bu Aniya berujar sementara Kak Mai masih sibuk dengan roti di piringnya.

“Saya sudah bilang hari ini saya ingin ke toko buku. Kalau memang pergi ke sana diwajibkan maka saya tidak punya banyak waktu.” Aku menjawab tanpa duduk bersama mereka.

Bu Aniya mengangguk beberapa kali lalu menampilkan senyum khasnya yang bagiku terkesan senyum tak bersahabat.

“Rupanya kamu sudah membuat rencana kegiatan,” katanya.

“Mai kamu bisa lanjut sarapan di kantor. Adikmu tidak banyak waktu,” lanjutnya.

Dan detik itu juga Kak Mai meninggalkan garpu di piring kemudian beranjak keluar.

Aku yakin Kak Mai mungkin kesal. Namun, seharusnya dia tahu bahwa aku tidak akan pernah satu meja makan dengan Bu Aniya jika bukan kepentingan bisnis dan sebagainya.

Melihat Kak Mai yang sudah berjalan menuju mobil, aku mengikutinya.

Selama perjalanan tak ada pembicaraan antara aku dan Kak Mai. Ini sebetulnya sudah biasa. Namun, sampai detik ini aku masih mempertanyakan alasan dari semua keputusan yang Kak Mai ambil. Bukan hanya untuk dirinya sendiri melainkan menyangkut hidupku juga.

Tanpa disadari berapa lama perjalanan ini akhirnya mobil sudah terparkir rapi di basemen kantor. Sebelum turun Kak Mai memperingati sesuatu.

“Jangan lupa senyum. Jangan sebut Bu Aniya dengan sebutan kamu seperti biasa. Sebut dengan kata 'mama'.”

Ini selalu jadi tugas Kak Mai ketika kami akan bertemu rekan Bu Aniya, pertemuan wali murid di sekolah atau sedang ada liputan media.

Tanpa membantah atau mengiyakan aku langsung turun dari mobil. Di sinilah kami. Kantor Bu Aniya. Beliau memiliki rumah produksi untuk seniman-seniman tanah air. Sejak tiga tahun lalu Kak Mai dipercaya untuk mengelola semua ini meski tetap di bawah pantauan Bu Aniya.

Hope for SecretWhere stories live. Discover now