21. Papa Marselio.. Om Vernando.

Start from the beginning
                                    

Jeron memejamkan matanya, ia lalu memijat pelan pangkal hidungnya sebab merasa pusing kembali menyerang. Ia ingat betul bagaimana dirinya yang menebalkan muka, membuang segala harga diri agar sang anak tidak di keluarkan dari kampus waktu itu. Bukan tanpa alasan juga Jeron tidak mau membiayai pendidikan sang anak, hal itu semata-mata hanya untuk membuat anak nya itu sadar bahwa tidak seharusnya membuang apa yang sudah ia dapatkan.

Jeron tahu bagaimana umumnya anak muda, ia juga pernah muda, dan Jeron maklum dengan apa yang anaknya itu lakukan, tapi Jeron tidak habis pikir bagaimana bisa video tersebut tersebar ke seluruh media sosial yang ia punya.

Jeron menundukkan pandangan, menatap ke arah bingkai foto sang mantan istri. Benar, bahkan sampai sekarang Jeron masih menyimpan foto itu baik-baik di atas meja kerja miliknya. Ia tercekat, detik berikutnya tangannya terulur untuk menutup bingkai foto tersebut.

'Seandainya kita masih sama-sama, seandainya kamu gak menghiati aku, Yong. Mungkin semua ini gak akan terjadi, anak kita sudah pasti gak menjadi seperti ini'.



Pukul 2 dini hari, Hanan terbangun dari tidurnya, ia menunduk untuk melihat Marselio yang tidur di dalam pelukannya. Sekitar 2 jam yang lalu Marselio menggigil, suhu tubuhnya kembali meninggi, oleh karena itu Hanan berinisiatif untuk memeluk pemuda itu agar memberikan kehangatan lebih.

Hanan lalu mengulurkan tangannya, mengecek suhu tubuh Marselio sudah turun atau belum. "Udah turun." Katanya kemudian. Ia melepaskan diri perlahan agar Marselio tidak terganggu dalam tidurnya. Ia akan ke dapur untuk mengambil minum, sebab tenggorokannya serasa begitu kering sekarang.

Langkahnya memelan ketika sampai di dapur, ia melihat papa dari Marselio itu sedang duduk di temani dengan botol minuman keras yang Hanan tidak tahu mereknya apa. Melihat itu rasa haus yang ia rasakan hilang entah kemana, di gantikan dengan rasa segan sebab, mungkin saja papa dari Marselio itu membutuhkan waktu sendiri malam hari ini. Sudah hendak melangkahkan kaki, Hanan kembali berhenti, ia menoleh sebab suara parau itu memerintahkannya untuk mendekat. Hanan ragu, ia tahu pria itu sedang di ambang batas kesadarannya.

"Saya masih sadar 100%, kemari.. saya mau ngobrol sebentar." Kata Jeron, seolah tahu bahwa Hanan khawatir dengan kesadaran yang anak itu lihat sudah tidak ada lagi.

Mendengar itu tidak berhasil membuat Hanan melangkahkan kakinya mendekat, ia masih diam dengan wajah memperhatikan miliknya. Ia baru percaya ketika Jeron berjalan seperti biasanya untuk mengambil buah apel di dalam kulkas, bahkan ia memotongnya dengan sangat rapih. Yang mana menunjukkan bahwa Jeron masih benar-benar sadar 100%.

Hanan dudukan dirinya di seberang meja makan, ia duduk tepat di hadapan Jeron yang saat ini tengah memperhatikannya.

"Kamu bener temen anak saya?" Tanya Jeron yang mana Hanan angguki saja sebagai jawabannya.

"Bukan, lebih dari temen?"

Hanan menggeleng, sedang Jeron menaikkan ujung alisnya merespon kepasifan anak muda di hadapannya ini.

"Kok diem aja, kemana tadi kamu yang ngomong panjang lebar sama saya? Saya manggil kamu ke sini bukan tanpa alasan, saya mau banyak bertanya tentang anak saya."

Hanan tak langsung menjawab, ia menatap Jeron yang dengan santainya masih memakan apel tersebut.

"Saya jawab sebisanya om. Kalau memang om mau tau tentang anak om, sebaiknya om tanya sendiri sama yang bersangkutan." Jawab Hanan apa adanya, ia sudah berusaha untuk berbicara se sopan mungkin pada sosok di hadapannya ini.

Jeron mengangguk, cukup terkejut dengan jawaban yang teman anaknya ini katakan. Ah iya, Jeron belum bertanya siapa pemuda manis yang berada di hadapannya ini.

[END] It's Okay, Kak.. Where stories live. Discover now