Bab 7 : Calon yang Baik

Zacznij od początku
                                    

Syam terkekeh sebentar. Lantas ia segera mendekat kepada Tisha guna mengambil alih Alif dari pelukan gadis itu. Balita tersebut sempat terusik tidurnya, namun Tisha dengan cepat menidurkannya kembali.

Setelah itu, ia memberikan Alif kepada Syam. Di situlah mereka saling berpandangan. Namun cepat-cepat, Tisha memutuskan kontak mata, lalu melepaskan tangannya saat Alif sudah sepenuhnya berada di gendongan Syam.

"Terima kasih," ucap Syam tersenyum.

Tisha mengangguk sambil berdeham. Setelahnya ia tak membalas. Syam berjalan dengan hati-hati saat keluar bersama Hasan, Kiran, dan Tisha.

Setibanya di halaman depan, Syam berpamitan kepada seluruh anggota keluarga baru kemudian ia masuk ke mobil dan melajukan kendaraannya itu menuju rumah.

***

Pagi ini, Tisha libur kerja. Alhasil Tara mengajaknya jalan-jalan keliling mall sembari membeli beberapa kebutuhan rumah yang stoknya sudah menipis.

Karena kemarin tak jadi pergi ke rumah kakaknya, Tisha menurut saja sekalipun ia dijadikan babu selama satu hari ini, sebagai ganti kemarin.

"Cubit aja, tuh, ginjalnya Kak Zulfan. Istrinya lagi hamil besar, kok, sibuk kerja terus," omel Tisha membawa satu kantung plastik berisi belanjaan Tara.

Tara terkekeh mendengar gerutuan adiknya. Perempuan itu mengusap perutnya yang membuncit di balik gamis warna biru tua dan kerudung yang menjulur setengah badan. 

"Mas Zulfan itu sebenarnya perhatian dan sayang banget sama Kakak. Gak perlu juga, kan, harus diumbar-umbar?" jelas Tara seketika mulut Tisha bungkam. Gadis yang memakai sandal jepit swallow itu mengangguk-angguk saja.

"Makanya nikah, Tis, biar ada yang merhatiin." Tara mendorong pelan lengan sang adik yang berjalan di sebelah kanannya.

Tisha berdecak, mencibir ucapan kakaknya. "Ayah ada, Bunda ada, Kakak juga ada. Masih dilimpahkan kasih sayang aku itu, Kak!" serunya tersenyum bangga. Menaikkan dagunya angkuh.

Tara geleng-geleng kepala merasa tak habis pikir. Sifat Tisha sangat mirip dengannya ketika umurnya sama dulu. Bedanya Tara sudah punya incaran yaitu Zulfan, sedangkan Tisha sampai sekarang belum menjatuhkan hatinya untuk siapapun.

"Iya-in, deh, biar cepet."

Keduanya tertawa bersama, hingga tak terasa sudah tiba di depan mall. Setelah memesan taksi dan naik, kendaraan itu melaju mengantar mereka pulang.

Selama perjalanan yang padat kendaraan, Tara tak berhenti mengomel mengajak adiknya berbincang. Saat mobil taksi yang mereka tumpangi melewati sebuah gedung tinggi Tara menepuk lengan Tisha yang hampir terlelap tidur.

"Itu kantornya Darmawangsa Grup, bukan?"

Tisha langsung tergugah. Ia cepat-cepat menoleh mengikuti arah pandang kakaknya yang melihat keluar jendela sebelah Tara.

Tisha sepeti tak asing mendengar kata itu. Otaknya meroda, berusaha mengingat dimana kiranya ia mendapatkan kata itu.

"Darmawangsa Grup?" ulang Tisha memastikan.

Tara mengangguk singkat. Kembali ke posisi semula karena gedung yang tadi dibicarakan sudah terlewati. "Tempat kerjanya Hisyam."

"Hisyam? Hisyam Al-Ghifari?"

"Iya."

"Kok Kakak tahu? Kakak kenal?"

Tara mengangguk untuk ketiga kalinya sambil terkekeh geli melihat ekspresi adiknya yang terlihat bingung.

"Ayah sering cerita soal Hisyam. Dia ayahnya Alif, kan?"

Gantian Tisha yang mengangguk. "Iya."

"Kamu suka sama dia?"

"Enggak, lah." Tisha tanpa ragu segera menolak, melipat tangannya setelah menyandarkan tubuh ke sandaran kursi mobil.

"Kenapa enggak? Kata Ayah, dia ganteng, mapan, agamanya bagus."

"Tapi duda."

"Masalahnya apa kalau duda?"

Tisha berdecak malas. "Ya, aku gak suka aja. Emang suka-gak suka harus dikasih alasan?"

Tara merengutkan wajahnya, nampak kecewa dengan jawaban sang adik. "Padahal Ayah keliatan seneng banget waktu nyeritain Hisyam ke Kakak."

"Terus?"

"Mungkin Ayah udah setuju dan merestui Hisyam jadi calon suami kamu."

Tisha memutar bola matanya kesal. "Ngaco, Kak."

"Apa salahnya kalau kamu terima aja? Soal cinta, nanti bisa hadir setelah akad." Tara berucap bijak membuat Tisha termangu sesaat.

"Iya, sih." Tisha nampak mulai yakin. "Sebenarnya Pak Syam cakep walaupun dia duda. Tapi, Alif lebih cakep. Gimana dong?"

"Kamu maunya nikah sama Alif?!" Tara yang mendengarnya sontak terkejut. Kata-kata sang adik sangat ambigu untuknya.

"Heh, gak gitu juga kali, Kak!" geram Tisha melototkan matanya.

"Cowok yang cakep doang gak ada gunanya, kalau gak bisa bimbing kita ke Surga-Nya Allah," kata Tisha membuang pandangannya keluar jendela.

Tisha kembali menoleh menatap kakaknya. "Modal kaya doang buat apa kalau subuh aja kesiangan, dhuhur sibuk, ashar di perjalanan, maghrib sampai isya' ketiduran?"

***

Bersambung...

Jangan lupa tinggalkan jejak💞

Follow Instagram: @wp.diaryalna

HISYAMOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz