-First Rain-

35.2K 2.9K 968
                                    

"Kakak itu masih di sana," ucapku lirih. Kutatap dirinya melalui jendela rumah. Badannya berdiri tegap, kepala memandang ke atas. Seluruh bagian dari dirinya basah oleh ribuan tetes air yang berjatuhan. Terlihat dari wajahnya, ekspresi kenikmatan. Aku mengernyitkan dahi, bingung. Apa yang menyenangkan dari hujan? Hujan membasahkan bajuku, membuat jalanan licin, belum lagi suara petir... mengerikan. Kupalingkan wajah ke belakang, menatap sosok yang tengah duduk di sofa, sibuk sendiri.

"Ayah, Ayah tidak akan memberikannya sebuah payung?" tanyaku.

Ayah yang sedang menyeruput kopi hangatnya sambil membaca koran langsung memandangku kesal. "Biarkan saja. Mungkin dia hanya akan bunuh diri," jawabnya datar. Ia kemudian membenarkan kacamatanya lalu melanjutkan bacaan. Aku mendesah pelan. Kenapa ayahku selalu berbicara seperti itu?

Kutolehkan kepalaku ke jendela lagi. Berembun. Kuusap embun di jendela itu dengan lengan baju kuningku, dan pemuda itu masih ada di sana.

Ini baru pertama kalinya aku melihat pemuda itu. Ia mengenakan kaus lengan pendek hitam lusuh dan celana jeans biru, seperti seseorang yang tidak memiliki rumah. Kalau diperhatikan lagi, sepertinya umurnya belum sampai dua puluhan. Kenapa orang semacamnya ada di sana?

Sore itu hujan turun dengan sangat deras. Tidak akan ada orang yang mau keluar rumah di cuaca seperti ini. Matahari tak terlihat, hanya awan hitam yang menurunkan air. Hawanya dingin. Seluruh kaca-kaca jendela sudah basah di luar, berembun di dalam. Kira-kira hujan sudah turun selama satu jam, tetapi pemuda itu masih berdiri di sana. Tidakkah ia takut sakit? Orangtuanya pasti akan membunuhnya jika ia sakit.

"Tidurlah!" teriak ibuku mendadak dari arah belakang. Aku hampir jatuh saking kagetnya. Ia menjewer telingaku dan menariknya keras-keras. "Dasar anak nakal!"

"Ini masih sore!" Aku membantah seraya meronta-ronta dari tangan ibu. Namun tangan dinginnya tetap saja berhasil menangkapku.

"Kau lebih baik tidur dari pada memperhatikan orang itu!" teriaknya lagi. Yah, mungkin ada benarnya... tetapi aku bosan! Salah mereka sendiri mengurungku di rumah. Tidak, aku tidak akan mengucapkan kata-kata itu kepada ibuku. Aku tidak berani.

Kutatap ibuku dengan mata yang berkaca-kaca, berharap wanita itu melembutkan wajahnya kemudian memelukku. Suatu hal yang tidak akan pernah terjadi. Ia kini memandangku rendah. Wajahnya yang berkerut membuat tampilannya menjadi jelek. Sangat jelek. Aku membencinya.

Ibu lalu menyeret tubuhku. Aku diam saja. Ini sudah biasa terjadi. Tubuhku bergesekan dengan karpet biru rumah. Bagian belakang bajuku selalu kotor dan berdebu karena ini. Telingaku yang juga menggesek karpet memerah, dan rasanya panas. Ibu lalu melemparkan tubuhku ke atas kasurku. Ia banting pintu kamar keras-keras. Debu langsung beterbangan mengelilingi kamarku.

Menghembuskan napas pasrah, aku mengalihkan pandangan ke jendela. Kamarku hanya mempunyai satu jendela. Satu jendela kecil yang mengarah ke depan rumah. Aku menyipitkan mata, hendak mengintip keluar melalui jendela itu. Sialnya, pemuda tadi sulit dilihat dari sini.

"Ah, Ibu menyebalkan," gumamku. Kupukul-pukul kasurku yang berdebu, membuat benda kecil layaknya peri itu melayang. Setelah meluapkan rasa amarah ke kasur, kuganti pakaianku. Kukenakan piyama putih polos yang selalu kupakai tiap malam. Bahannya tipis dan kasar. Yah, setidaknya lumayan nyaman dipakai. Aku ingat sekali pernah muntah saat mengenakannya. Bagian itu sekarang menguning, tidak bisa dihilangkan. Sesekali aku tertawa melihatnya, membayangkan betapa menjijikkannya muntahku di sana. Sampai sekarang aku tak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi.

"Ibu... aneh," bisikku lagi. Aku menelentangkan tubuh di atas kasur. Kutatap jam di dinding cokelat tua ruangan ini. Baru jam empat sore! Tiba-tiba perutku berbunyi. Sepertinya aku kelaparan. Aku harus bersabar untuk menunggu makan malam. Makan siang jarang sekali diberikan untukku... entah karena tidak ada makanan atau apa. Aku terlalu takut untuk membuka kulkas. Suara dengungnya membuatku tidak nyaman.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang