-First Rain-

Mulai dari awal
                                    

Aku menututup tubuh kurus dan mungilku dengan selimut. Selimut yang tebal, sayangnya terlalu kecil. Kalau aku sudah besar nanti, kakiku akan menyembul keluar saat menggunakannya. Kupejamkan mataku. Ruangan ini agak dingin, jari-jemariku menjadi berkeriput. Dingin... dingin sekali. Aku dilahap gelapnya kantuk.

Hahaha... hahaha....

Secara mendadak kubuka mataku. Jantungku berdetak cepat. Mimpi, mimpi buruk lagi. Aku terduduk di atas kasur, memegang kepalaku yang berkeringat. Apa yang kudengar tadi? Suara tawa? Apa pun itu, aku... aku ingin tahu siapa itu. Suaranya sangat halus walaupun mengerikan. Suara seorang laki-laki. Tepatnya, pemuda.

Ah, pemuda di depan itu!

Kusingkirkan benda yang menyelimutiku. Aku melompat dari kasur, lalu segera berlari ke jendela. Langit sudah gelap, dan hujan sudah berhenti. Aku tersenyum lebar. Tak peduli sekarang sudah waktunya tidur, aku akan memeriksanya!

Kubuka pintu kamarku perlahan. Ayah dan ibu belum terlihat. Hawanya lebih dingin dari sebelumnya. Mungkin karena sekarang sudah malam. Aku mengendap-endap ke ruang tamu, ruangan di mana aku mengintip pemuda tadi. Aku mengintip keluar, dan... ia masih ada di sana! Pemuda itu tengah duduk menyender ke sebuah tiang lampu. Ia terlihat sangat kedinginan. Wajahnya menunduk dan tertempel ke dengkulnya. Nah, pasti ia merasa sakit karena hujan-hujanan tadi!

Aku langsung berlari ke arah dapur. Tentunya tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Di sebelah kompor dapur terdapat kulkas-berusaha keras untuk mengabaikan suaranya-dan di sebelahnya lagi terdapat kardus-kardus berisi botol minum air mineral. Kuambil salah satunya.

Aku kembali ke ruang tamu dan mengambil jaket ayah yang ada di atas sofa. Jaket kulit yang kelihatannya mahal dan enak dipakai, entah kapan dibelinya. Warnanya merah marun. Ukurannya besar, pemuda itu pasti muat mengenakan jaket ini.

Kubuka kunci pintu, lalu aku berlari ke arah pemuda yang ada di seberang jalan itu. Napasku terengah-engah. Aku bukan anak yang aktif ataupun senang berolahraga. Sesampainya, wajah pemuda itu seperti menatapku, menyadariku. Anehnya, rambut pemuda itu menutup dahi dan matanya. Namun dapat kulihat dengan jelas bahwa ia memejamkan matanya itu.

"Ini," bisikku. Ia tetap terdiam.

"Buka matamu, Tuan," bisikku lagi. Ia malah tersenyum kecil.

"Maaf, aku buta," ucapnya. Suaranya tidak terlalu berat, tidak terlalu cempreng. "Dan cukup panggil aku dengan panggilan, Kak."

Aku terdiam mendengar perkataannya, merasa bersalah.

Cahaya lampu jalan menerangi kami berdua. Tidak ada bintang yang terlihat karena lampu-lampu kota. Di sini jarang ada pohon, hanya beberapa semak-semak dan rerumputan. Di pinggir jalan hanya ada trotoar dan sederet rumah tetangga. Namun di depan rumahku tidak ada rumah sama sekali. Hanya ada sebuah tiang lampu, dan pemuda ini.

Aku berjongkok di hadapannya. Kubuka tutup botol minum yang kubawa.

"Minumlah, Kak," ujarku lirih. Kugenggam tangan kanannya dan kutuntun tangannya ke botol yang kupegang. Ia pun meraihnya pelan. Didekatinya mulut botol itu ke bibirnya yang basah.

"... Tak mengapa?" tanyanya.

"Minumlah," pintaku. Pemuda itu tersenyum. Ia minum air di dalam botol minum itu. Hanya dalam berapa kali teguk, air itu sudah habis.

"Kakak haus sekali, ya?" tanyaku. Kuperhatikan dirinya yang bersimbah air. Rambut pemuda itu berwarna cokelat kemerahan yang acak-acakkan. Badannya kelihatannya tinggi, jauh melebihiku. Mungkin tinggiku hanya seperutnya.

"Iya.... Beberapa hari ini belum makan minum." Ia terbatuk (sudah kuduga dia akan sakit), lalu tersenyum. Senyum yang ia gunakan sangat khas, entah kenapa. Agak berbeda dengan senyum-senyum yang pernah kulihat.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang