23. Mengenang sebuah perpisahan

20 5 2
                                    

"Buat apa sih merayakan kematian? tambah bikin sakit tahu."

Zian tidak pernah peduli bagaimana orang lain berkomentar tentang cara dia menjalani hidup. Persetan dengan banyaknya yang benci atau menghujatnya, gadis itu lebih suka menjalani hidup sesuai dengan apa yang dia inginkan.

Bukan hanya satu atau dua kali gadis itu mendapat ucapan seperti itu. Tanggal 5 Januari disetiap tahunnya Zian akan selalu mengosongkan jadwalnya, tapi tidak setelah Dipta hadir dalam hidup Zian. Sama seperti manusia lainnya yang akan mengatakan 'Buat apa sih merayakan kematian?' laki-laki itu juga mengatakannya tepat ditahun pertama mereka kenal, tapi Dipta berbeda, bukan hanya mengkritik tapi laki-laki itu juga memberikan sebuah solusi.

"Zi?" panggil Dipta sembari menatap Zian yang tengah terduduk disamping pusara sang mama. Sudah 10 jam gadis itu hanya berdiam diri disana sembari menatap lurus nisan yang tertulis nama sang mama. Setiap tahun gadis itu akan berdiam diri di sana selama 24 jam, tidak peduli panas ataupun hujan turun, tidak peduli dengan perutnya yang keroncongan, tidak peduli nyamuk menggigitnya karena yang ia inginkan hanya ada di samping mama dihari ketika Zian lupa untuk memeluk sang mama dan untuk selamanya gadis itu tidak lagi bisa memeluknya.

"Buat apa sih merayakan kematian?" lanjutnya.

Zian mendongak, "Kamu sama ya kayak yang lain, selalu larang aku buat lakuin apa yang aku mau."

"Kita larang karena tindakan kamu ini konyol tau nggak?" bentaknya.

Dipta tidak lagi peduli bagaimana perasaan Zian setelah mendapat sebuah bentakan darinya, yang ia inginkan adalah Zian berhenti membuka kembali luka dan berhenti untuk memperparah luka itu.

"Terus dengan apa yang kamu lakuin sekarang mamamu bakal balik gitu?" tanyanya.

Mendengar apa yang diucapkan Dipta membuat gadis itu memeluk lututnya lalu menangis terisak.

"Kamu tahu Tante Kinasih dateng ke rumah ceritain semuanya ke aku? kamu tahu seberapa khawatirnya beliau? dan kamu bener-bener udah gila ya merayakan kematian yang sebenarnya nggak pantes buat dirayakan!!!"

"Kamu tahu apa sih tentang hidupku? kamu itu orang baru nggak usah bacot!! kalo kamu kesini cuma mau marah-marah mending pulang!!!" ucap Zian terbata-bata karena isakan tangisnya.

Dipta menarik lengan Zian dan memaksa gadis itu untuk bangkit lalu ikut dia pulang, "Pulang!!"

Zian berontak, "Kamu nggak tahu seberapa menderitanya aku selama ini, jadi berhenti bersikap sok tahu anjing!!"

Dipta menatap lemas mata Zian yang tengah menangis itu. Ia tidak pernah menduga bahwa gadis itu akan mengucapkan kalimat seperti itu padanya. Bukan marah, Dipta justru terdiam melepaskan cekalan tangannya lalu membiarkan Zian kembali terduduk dan menangis semakin deras.

Laki-laki yang tengah mengenakan seragam sekolah itu meneteskan buliran bening dari matanya. Ya, sepulang sekolah setelah mengetahui yang terjadi dari Kinasih, Dipta langsung bergegas datang kesini  tanpa berpikir untuk berganti pakaian.

Dipta menarik nafasnya, menatap langit sore yang sedikit berwarna jingga itu, "Aku nggak yakin apa dengan kamu ada disini selama 24 jam mamamu akan bahagia. Tapi satu yang aku tahu, bahwa mungkin dia juga sedang nangis lihat kelakuan putrinya yang sungguh bodoh ini."

Dipta jongkok tepat disamping Zian, "Kematian itu bukan untuk dirayakan Zi, tapi untuk dikenang."

"Kita sama-sama pernah kehilangan, tapi mungkin rasa sakitnya lebih parah kamu. Tapi sebanyak apapun perbedaannya, semua kematian itu bukan untuk dirayakan. Hanya orang-orang bodoh yang nggak tahu arti mengikhlaskan yang berani lakuin itu," lanjutnya sembari menyentuh pundak Zian yang bergetar.

Zian [END]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن