6. Filosofi sebuah buku

60 29 8
                                    

"Lo mau sarapan apa?" tanya Fera setelah mereka sampai di kantin kampus.

Menjadi teman satu angkatan makhluk berisik seperti Fera ini sungguh dibutuhkan kekuatan batin yang kuat.

Fera terdiam menatap rentetan menu yang tertempel di dinding. Sedangkan Zian, sibuk membuka laptop. Ia serahkan segala keputusan menu sarapan pagi ini ditangan temannya itu. Meski ia tau, mungkin hasilnya tidak akan memuaskannya.

"Kamu tim bubur diaduk atau enggak?"

"Enggak"

"Kenapa? enak kalau diaduk tau lebih kerasa. Bumbunya menyatu kek perasaan lo sama Dipta"

"Suka-suka gue dong"

"Jawab dulu kenapa?"

"Nggak"

"Kenapa? kenapa? kenapa? kenapa nggak suka diaduk? kenapa Zian?" bawel Fera.

"Karena tampilannya bikin enek."

"Penampilan itu nggak penting tau. Yang penting itu rasanya ...."

"...."

"Ehh ... lo doyan ketoprak kan?"

"Doyan"

"Kok lo semua-semuanya doyan sih? yang nggak lo doyan apa?"

"Ngga ada!!"

"Mustahil banget manusia doyan semua jenis makanan."

"Fer ...." Zian mulai jengah dengan sikap bawel Fera.

"Bisa langsung pesen aja nggak?".

Fera tersenyum, "Oke ... nasi campur aja."

Zian kembali berkutat dengan layar laptop. Mengerjakan beberapa tugas yang belum ia kerjakan. Terlalu banyak hal penting yang ada dalam laptopnya. Kuliah dan juga beberapa kenangan yang mungkin tidak akan bisa lagi ia dapatkan dilain tempat. Zian kini menjadi gadis yang selalu menyimpan kenangan berbentuk apapun. Album foto, file foto di laptop dan flashdisk, bahkan ada beberapa kenangan yang ia abadikan didalam tape recorder yang ia dapatkan dari Dipta hadiah tahun pertama ulang tahun Zian setelah mereka kenal.

Karena Zian pernah menyimpan kenangan hanya dalam ingatan. Namun, kini kenangan itu perlahan menghilang. Tentang beberapa momen masa kecilnya bersama mama, beberapa momen bersama keluarganya. Dan yang paling gadis itu sesali adalah, kenyataan bahwa kini ia sama sekali tidak bisa mengingat kembali suara sang mama.

"ZIAN !!!" teriak Fera dari meja kasir.

"ES NYA APAAN? LO PAKE AYAM APA TELOR? MAU KERUPUK NGGAK?"

Zian mendengus kesal, "Air putih, telur ceplok dan ga pake kerupuk."

Fera tersenyum menampakkan giginya yang seperti vampir itu, "Air putih satu teh adem satu, aku pake ayam temenku pake telur ceplok katanya. Sama kerupuknya satu aja ya."

Fera kembali ke tempat di mana Zian duduk. Entahlah bagaimana bisa Fera mengikuti langkah kaki Zian sejak SD. Satu SMP, tiga tahun dikelas yang sama satu bangku pula. Satu SMA, dikelas yang sama hanya satu tahun dan itupun satu bangku. Sekarang, satu kampus, satu fakultas, satu jurusan, satu kelas pula, untungnya duduknya satu-satu jadi nggak satu bangku, meski sampingan.

Tidak ada alasan khusus kenapa Fera memilih jurusan Sastra Indonesia padahal, yang Zian tahu, Fera sangat suka desain. Berapa kalipun orang-orang tanya kenapa dia memilih sastra, jawabannya akan selalu sama. Bahkan, nada suaranyapun selalu sama.

"Karena disastra ada Zian Malika Adinata."

Jawaban yang sangat klasik. Tapi dengan hadirnya Fera dalam hidup Zian. Zian menyadari banyak hal baru. Tentang, dunia lain yang tidak ia mengerti. Contohnya adalah Fera sendiri.

Zian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang