15. Bolos berkedok healing

34 12 3
                                    

Alih-alih duduk di ruang kelas dengan tenang, lalu mengerjakan tugas-tugas yang diberikan. Dipta, Wendy, Very dan Mumun malah menghabiskan harinya dengan duduk dikursi pojok kafe yang dikelola abangnya Very. Bukan kabur dari kewajibannya sebagai mahasiswa. Mumun bilang, sekali-kali healing untuk menjernihkan pikiran juga diperlukan.

Pagi setengah siang itu cuaca di daerah Pulo Gadung lumayan cerah. Suhu yang relatif normal membuat siapa saja akan merasa nyaman untuk beraktivitas. Sekedar duduk diteras menikmati secangkir kopi juga bisa menjadi referensi. Atau keluar naik sepeda motor dengan kecepatan sedang, keliling Jakarta juga bisa menjadi pilihan. Jika tidak ada kegiatan tentunya.

Alunan lagu yang akhir-akhir ini sedang hits dikalangan anak galau Indonesia tengah berputar menggema seisi kafe. Memberikan setidaknya sedikit nuansa galau ala anak-anak semester akhir yang stress karena skripsian.

Dipta menenggak satu gelas es cappucino yang masih penuh. Sekali-kali menatap intens teman-teman yang tengah asyik mengobrol, meski yang dibicarakan sangatlah tidak berfaedah. Bahkan kucing oren milik Mas Jun tukang kebun di kampus yang dikabarkan tengah mengandungpun tak luput dari perbincangan mereka.

"Kasian banget hamil diluar nikah," celetuk Wendy sembari melahap satu potong siomay isi daging dengan cocolan saus tomat.

"Lu kali yang hamilin," sahut Mumun ditengah aktivitasnya mengirim tugas yang deadline-nya hari ini.

Wendy melotot, "Sekate-kate tu mulut kalo ngomong. Gue gini-gini masih doyan yang bener yee."

"Masih doyan kok jomblo terus," balas Very yang sedari tadi berkutat dengan game nya.

"Gue tuh nggak jomblo!!" bantahnya dengan tatapan yang sedikit nyalang.

"Tapi?" sahut Dipta yang tengah mengambil es batu yang sudah mengecil dari gelasnya.

"Memilih untuk sendiri."

"Emang apa bedanya?" tanya Dipta.

"Kalo jomblo itu nasib ... kalo memilih sendiri itu pilihan namanya," jelasnya.

Wendy memang digadang-gadang sudah jomblo akut. Usut punya usut, atas informasi yang Mumun terima dari mata-mata dikampus, Wendy bukan jomblo hanya saja dia menjadi laki-laki gagal move on dari pacar pertamanya waktu kelas satu SMP. Cinta monyet yang sesungguhnya. Padahal menurut informasi yang memutuskan hubungan adalah dirinya sendiri, tapi yang terlanjur gagal move on juga dirinya.

"Lu mah takdir berkedok pilihan," sindir Mumun.

"Lu lu pada kok jadi ngebully gue sih?" Wendy mendengus kesal melihat situasi yang tidak memihak padanya.

"Muka lo pantes soalnya kalo dibully apalagi dikasih sianida," canda Very.

Wendy berdecak kesal, "Kok lu tega banget siii...."

"Nggak usah drama!! jijik gue," ketus Mumun melihat ekspresi Wendy yang sok melas.

"Gue punya info penting!!" lanjutnya berusaha mengalihkan pembicaraan. Ketiganya sontak menatap laki-laki yang tengah mengenakan hoddie itu dengan sangat intens.

Perasaan Dipta berubah menjadi tidak enak.

"Tukang cilok yang di SPBU punya menu baru!!"

"SPBU mana yang lu maksut anjirr ... SPBU banyak banget disini," Ucap Wendy. Dipta dan Very merasa jengah, tau apa yang akan temannya itu katakan.

"Jalan Basuki Rahmad. Sekarang udah ada telur puyuhnya anjirrr," jawabnya.

"Serius? berapaan?" tanya Wendy antusias.

"Yang puyuh dua rebu doang, murah banget kan?"

Wendy mengangguk, "Anterin gue ntar ya beli."

Dipta hanya terkekeh kecil dengan tingkah kedua temannya ini. Yang satu oon yang satu lemot. Mereka adalah perpaduan yang sangat pas sama seperti martabak manis rasa coklat dan kacang.

Zian [END]Where stories live. Discover now