11. Kolase sebuah kenangan

46 15 5
                                    

Lagi-lagi malam ini hujan turun. Tidak deras namun konsistensinya untuk turun membuat siapapun hanya ingin meringkuk dibalik selimut. Gadis itu menutup sebuah buku dairy yang baru saja ia isi dengan segala cuitan hatinya. Menatap jendela yang sengaja ia biarkan terbuka, membuat hawa dingin meruak masuk memenuhi isi kamar. Menatap air yang mengalir dari genting, cipratan airnya membuat kusen jendela menjadi basah.

Malam ini, setelah seharian menikmati waktu bersama dengan Dipta, mereka mampir ke makam mama. Memberikan satu buket aster yang kali ini hanya berisi aster putih. Cantik, elegan sama seperti mama.

"Seandainya aku dilahirkan kembali, aku tetap ingin menjadi anak mama. Namun, jika itu benar terjadi aku akan menyimpan mama jauh lebih lama dan erat lagi. Kenyataan bahwa aku sudah melupakan sebagian dari mama adalah takdir yang tidak ingin aku jalani lagi."

Sama seperti apa yang dikatakan mama dihari pertama gadis itu masuk sekolah dasar. Zian terus merengek meminta untuk segera pulang, berada dilingkungan baru dan orang-orang baru sungguh membuatnya ketakutan. Sebuah lolipop warna-warni tidak cukup membuatnya tenang, bujukan sebuah boneka baru juga tidak berpengaruh apa-apa. Tangisannya terhenti ketika melihat wali kelasnya yang tiba-tiba memulangkan mereka lebih cepat karena baru mendapat kabar bahwa orang tuanya meninggal dunia dikampung halaman.

Dalam gandengan tangan mama, Zian masih mengingat bagaimana ekspresi ibu wali kelas sesaat setelah mendapat sebuah telepon. Ekspresi yang tidak bisa diartikan, terlalu datar untuk gadis itu pahami.

Zian duduk dikursi bambu teras rumah, melepas sepatu hitamnya dan kini hanya menyisakan kaki mungilnya yang terbalut kaus kaki putih. Sang mama duduk disampingnya sembari mengawasi kegiatan putrinya itu. Tidak ada percakapan sampai pada akhirnya, tante Kinasih mengantarkan sepiring bolu kukus pisang hasil eksperimennya setelah menonton video di YouTube seharian.

"Bu guru tadi kenapa ma?" tanya Zian membuka suara.

Sang mama menoleh, "Menerima takdir dari Tuhan."

"Hah?"

"Orang tuanya pergi untuk selamanya, jadi Bu Guru sedih karena setelah ini beliau tidak bisa melihat orang tuanya lagi," jelasnya sembari menyambar sepotong bolu kukus dari atas piring. Rasanya lumayan enak untuk seorang pemula.

"Kenapa pergi selamanya?"

Sang mama sedikit berpikir, "Ehmm ... karena Tuhan lebih menyayangi orang tuanya."

"Berarti Tuhan nggak sayang sama Bu Guru?"

Bukannya mengelak mama justru terkekeh mendengar jawaban dari putrinya. Zian masih ingat betul halusnya tangan mama mengelus puncak kepalanya.

"Tuhan itu hanya ingin membuat Bu Guru menjadi lebih hebat dari sekarang. Tapi, Tuhan juga sayang kok sama Bu Guru, tapi sayangnya Tuhan itu punya cara yang berbeda untuk menyayangi kita semua."

"Cara apa?"

"Ehm ... misalnya, Tuhan ciptakan Zian sebagai anak mama berarti Tuhan sayang sama mama sampai-sampai mama dikasih hadiah putri kecil yang menggemaskan ini," tuturnya sembari menyubit ringan pipi gembul milik Zian.

"Aduhh ma ... sakit."

Zian sekarang juga menyadari bahwa Tuhan juga menyayanginya sehingga ia sengaja diciptakan sebagai anak satu-satunya yang dimiliki mama. Gadis itu menyadari jauh setelah kepergian sang mama.

"Ma ...."

Tanpa menjawab mama hanya menoleh.

"Bu Guru sedih nggak ya kalau ditinggal orang tuanya?"

Zian [END]Where stories live. Discover now