18. Berdamai dengan kecemburuan

21 12 2
                                    

Kakinya terasa lemas, ia ingin melangkah tapi hatinya terlalu perih untuk melihat kenyataan ini. Kenyataan bahwa sang kekasih tengah berduaan dengan perempuan lain di dalam kamar. Dengan tangan yang menggenggam erat gelas berisi air putih, Zian berusaha mati-matian untuk tetap terlihat normal. Tidak marah atau terlihat emosi apalagi sampai menangis. Hari itu Zian ingin menghilang saja dari bumi.

Dipta menatap Zian dengan lekat, raut wajah yang berbeda dapat dengan mudah laki-laki itu sadari. Dia tahu letak kesalahannya, dan dia juga menyadari itu. Tapi ditempatkan diposisi yang serba tidak bisa juga membuatnya kesulitan. Ia ingin menolak kehadiran Ais, tapi satu hal yang ia sadari bahwa Ais tidak lama disini membuat laki-laki itu menerima ajakan gadis yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya itu. Melihat gadisnya dengan ekspresi wajah yang berbeda membuat Dipta juga merasakan sakit dalam batinnya. Ia marah pada dirinya sendiri karena telah membuat hari Zian menjadi mendung.

"Mau nganterin obat dari Bunda," ucap Zian sembari berjalan masuk.

"Makasih ya," balas Ais.

Zian menyerahkan gelas dan obat pada Dipta. Gadis itu ingin sekali menanyakan semuanya, namun melihat laki-laki yang tengah duduk di hadapannya kini sedikit pucat membuat Zian mengurungkan niatnya.

"Kata bunda lo dari pasar ya?" tanya Ais.

Zian mengangguk, "Iya."

"Lo udah lama ya pacaran sama Dika?"

Zian meringis, melihat kenyataan bahwa kebohongan ini mungkin akan berlanjut.

"Iy-"

"Dia pacar gue!" potong Dipta tiba-tiba.

Ekspresi wajah Ais berubah. Meski kenyataannya ia tahu kebenarannya, tapi mendengar kalimat itu terucap dari mulut Dipta membuat hati dan perasaan Ais sedikit terbakar.

Empat tahun yang lalu, dua anak berseragam olahraga SMA duduk di sebuah kursi yang terletak dibawah pohon beringin yang tumbuh rindang. Menikmati angin Jakarta yang berhembus bersama gemuruhnya suara siswa-siswi SMA yang tengah berolahraga.

"Gue mau pindah ke Jawa Tengah," ucap Ais tiba-tiba yang membuat Dipta membulatkan matanya.

"Kapan? Kenapa pindah? Terus kita gimana?" tanya Dipta bertubi-tubi.

"Terserah lo aja," tutur Ais. Jujur gadis itu sudah tidak tahu harus berbuat apa, keputusan untuk pindah juga sebuah paksaan dan untuk hubungannya ia tidak ingin lagi memutuskan, apalagi karena terpaksa.

"Kok terserah gue si. Kita itu pacaran berdua bukan cuma gue doang."

Ais tertunduk menatap sepasang sepatu sneaker warna abu-abu miliknya. Laki-laki itu menghembuskan nafas kasar, pola pikir yang belum dewasa membuat dia menjadi emosional. Sama seperti pasangan lainnya yang tengah dimabuk cinta, Dipta juga tak ingin berpisah dari Ais tapi laki-laki itu juga tidak bisa membayangkan jika harus menjalin hubungan jarak jauh di usia mereka ini.

"Lo ada kemungkinan main kesini nanti?"

Ais mengedikan kedua bahunya, "Nggak tau."

Dipta menatap siluet wajah gadis yang terduduk di sampingnya, "Kalo lo ada kemungkinan main kesini maksimal 6 bulan sekali, gue bisa LDR. Tapi kalo enggak, sorry Is gue nggak bisa."

Gadis itu berusaha untuk tidak menangis, "G-gue juga nggak bisa pastiin bakal kesini nggak, soalnya gue juga nggak mungkin kan kesini sendirian."

"Yaudah kita selesai," putus Dipta.

Ais mengangkat kepalanya, menatap laki-laki yang satu detik berikutnya resmi menjadi mantan, "Tapi kita bisa temenan kan?"

Zian [END]Where stories live. Discover now