[ Part 11 ] Kekecewaan Mamah

Mulai dari awal
                                    

"Mamah percaya 'kan sama Genan?"

Tak ada jawaban. Hanya helaan napas yang berhembus pelan dari wanita itu.

"Mah?"

"Mamah kecewa sama kamu, Nan. Kenapa kamu ngelakuin itu? Kasihan Nara ... masa depannya hancur, Nan."

"Bukan Genan, Mah...," elaknya dengan suara pelan.

"Nara sendiri yang bilang, Nan. Mau gimana lagi? Kan dia yang ngalamin, jadi dia tahu." Almira menghela napas. "Jadi itu alasan kenapa kamu udah dua bulan di Indonesia tapi nggak pernah ngabarin Mamah?

"Mah—"

"Jangan lari dari masalah ya? Kamu tahu 'kan apa yang harus kamu lakukan setelah ini?" potong Almira.

Kevan, Mah, yang lari dari masalah. Bukan Genan.

"Tanggung jawab, ya? Mau tidak mau, anak itu butuh figur seorang ayah."

"Bahkan Mamah sendiri 'pun nggak percaya sama Genan?" tanya cowok itu.

"Nara itu anak baik, Nan. Nggak mungkin dia bohong. Dia—"

"Mamah lupa kalo anak Mamah 'tuh kembar? Wajah kita mirip, Mah!" tukas Genan dengan nada naik satu oktaf. Ia tak bisa menahan emosinya, walau itu di depan sang Mamah sekalipun. Berbeda dengan Kevan yang lebih pandai mengendalikan amarah saat berhadapan dengan wanita itu.

Almira terkejut mendengar putranya bersuara sedikit lebih lantang. Wanita itu terdiam sejenak sebelum mulai bersuara. "Tapi Mamah nggak yakin kalau Kevan. Kevan itu anak baik—"

"Iya, baik! Baik di depan Mamah doang. Di luar sana Kevan itu brengsek!"

"Ge-genan.... " Almira benar-benar tak percaya bahwa Genan berkata sekasar itu, bahkan di saat dirinya sakit. "Mamah benar-benar nggak nyangka kamu kayak gini, Mamah kecewa sama kamu, Nan."

Setelah mengatakan itu Almira meremat dadanya yang terasa nyeri. Lagi-lagi kambuh. Hal itu sontak membuat Genan panik. Cowok itu terlihat frustasi.

"Mah, ma-maaf, Mah."

Kevan masuk secara terburu, lantas mendorong bahu Genan kasar. Tersirat rasa khawatir yang teramat dalam dari wajah tegasnya.

"Lo apain Mamah!? Kalo sampe Mamah kenapa-napa, habis lo!"

Setelah Kevan menggertak, dia berlari keluar ruangan guna memanggil dokter. Meninggalkan Genan yang juga panik di dalam sana.

"Maaf, Mah...," lirihnya.

°°°

Keesokan paginya.

Genan mengerjap pelan sebelum kedua matanya benar-benar terbuka. Semalam dokter mengatakan bahwa kondisi mamanya kembali drop dan butuh lebih banyak istirahat. Dokter juga mengatakan bahwa mamanya tak boleh banyak pikiran, karena hal itu juga yang membuat kondisinya semakin menurun.

Semalam Genan tidur di sofa ruang rawat sang Mama. Ya meski sofa itu empuk, tapi ia merasa tak nyaman dan berakhir badannya terasa pegal. Netranya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul delapan pagi. Bisa-bisanya dia bangun terlambat. Dia sudah terbiasa bangun pagi. Mungkin karena masalah kemarin membuatnya malas untuk bangun menjalani hari.

Atensinya beralih pada sosok sang Mama yang sedang disuapi Kevan. Kevan begitu telaten merawat wanita itu. Pantas saja Almira merasa tak yakin bahwa Kevan 'lah yang menghamili Nara. Cowok itu bagaikan malaikat bersayap putih dengan sifat hangatnya. Tentu hanya di depan sang Mama.

"Cih, munafik banget lo, Kev," gumam Genan pelan.

Genan beranjak dari duduknya. Menghampiri ranjang. "Mah," panggilnya.

Belum sempat Genan berucap untuk mengutarakan hal yang ingin ia sampaikan, mendadak Kevan menarik tangannya. Membawanya keluar ruangan. Sesampainya di luar mereka saling pandang dengan tatapan permusuhan.

"Gara-gara lo kondisi Mamah nge-drop lagi semalam," marah Kevan.

"Iya, tahu itu salah gue. Tapi titik masalahnya 'tuh di elo!" sulut Genan dengan menunjuk Kevan.

"Intinya jangan bikin Mamah sakit lagi. Gue lemah kalo berurusan sama Mamah."

"Terus maksud lo apa nuduh gue?"

Kevan berdecih ke samping, lalu tersenyum miring menatap cowok di hadapannya. "Nara sendiri yang membenarkan tuduhan itu. Apa susahnya menerima kenyataan?"

"Brengsek lo!" sungutnya seraya mendorong bahu Kevan. "Lo ngancem tuh cewek kan? Bilang kebenarannya di depan Mama sekarang juga, Kev! Gue nggak sudi nanggung beban dari kesalahan lo!"

"Gue juga nggak sudi!"

"Jadi lo nggak mau tanggungjawab? Pengecut lo!"

Kevan diam dengan tatapan datarnya. "Genan, nggak ada yang percaya sama lo, bahkan Mamah sekalipun. Lo nolak permintaan Mama sama aja lo bikin kondisi Mama lebih buruk. Lo ngerti maksud gue 'kan?

"Lo yang bikin kondisi Mamah buruk, bukan gue."

"Terserah. Sekarang tugas lo cuma satu, turuti permintaan Mama," sahut Kevan. Permintaan yang dimaksud adalah permintaan agar Genan bertanggung jawab pada Nara.

Setelah mengatakan itu, Kevan menjauh dari sana.

Genan menggertak saat lagi-lagi melihat Kevan pergi. Pergi, lari dari masalah yang harus ia hadapi. Benar-benar pengecut.

"Argh! Sialan lo, Kev!!"

Genan pun masuk kembali setelah menetralkan amarahnya. Menghampiri sang Mama dengan senyum hangat seolah tak terjadi apa-apa.

"Nan, soal yang semalam...."

"Apa kalo Genan bertanggung jawab pada Nara, Mama bakal maafin Genan?"

Tak ada jawaban.

"Mau gimana 'pun Genan mengelak. Mamah tetap nggak akan percaya 'kan?"

"Bukan gitu, Mama—"

"Yaudah kalo itu mau Mamah. Lagian Genan 'kan laki-laki. Harus berani bertanggung jawab," selanya seraya tersenyum. "Walau bukan gue yang salah," lanjutnya dalam hati.

"Genan akan tanggung jawab dan nikah sama Nara," finalnya dengan berat.

Meski hatinya menolak secara gamblang. Genan harus rela masa depannya berakhir dengan menikah bersama gadis itu. Lagipula ia yakin ini hanya sementara. Setelah anak itu lahir, ia akan mengungkap kebenaran tentang siapa ayah kandungnya.

Dan juga, Genan akan membuat Nara tersiksa karena berani melibatkan dirinya dalam masalah ini.

Tunggu aja, lo nggak bakal bahagia nikah sama gue dasar cewek sialan! batin Genan.


.
.
.

|🌹SILENCE OF TEARS🌹|

< Bersambung >

Maaf kalo ceritanya nggak nyambung atau gaje😭😔

Ekhem, monmaap itu bintang kejora yang mempesona di pojok kiri bawah jangan dicuekin brehh😭🗿.

Vote dan komennya kak ^^
Bantu promosi juga ya...

See u next part lovv

Silence Of Tears (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang