18. Berdamai dengan kecemburuan

En başından başla
                                    

Dipta tersenyum sembari mengangguk, "Ohh ya kalau itu pasti."

Sama seperti empat tahun yang lalu saat terakhir mereka bersama. Ais masih mencintai Dipta hingga detik ini. Mengenal banyaknya laki-laki di Jawa Tengah, beberapa kali mencoba untuk menjalin hubungan dengan mereka berharap bisa melupakan Dipta. Namun kenyataan berbalik, semakin Ais berusaha melupakan laki-laki itu semakin besar rasa cinta dan rindunya untuk Dipta.

Dipta menarik tangan Zian yang membuat sang empu terduduk dipinggiran ranjang samping Dipta, "Gue ketemu Zian waktu dunia gue runtuh ... dan jujur waktu itu gue juga berharap lo yang datang Is, tapi kenyataannya lo nggak pernah datang. Dan Zian datang kasih gue kekuatan untuk bangkit, dua tahun lalu gue baru menyadari bahwa perasaan gue ke Zian lebih dari sekedar sahabat."

Ais terkekeh, "Gimana gue mau dateng kalau gue aja nggak tahu apapun yang terjadi disini setelah empat tahun yang lalu Ta."

"Gue paham dan gue ga nyalahin lo tentang itu, gue tahu lo masih simpen perasaan buat gue, gerak-gerik lo kentara banget soalnya. So, I'm so sorry gue nggak bisa balas perasaan lo lagi."

"Iya gapapa santai aja kali. Gue kesini juga nggak minta buat balik sama lo kali, gila aja ... kriteria gue sekarang udah jauh di atas lo," bohong Ais dengan sedikit tertawa.

"Yaudah deh gue pulang dulu ada janji sama temen," lanjutnya berbohong lalu bangkit dan melangkah pergi.

Kini menyisakan Dipta dan Zian. Hanya deru nafas keduanya yang berpadu dengan detikan jam dinding yang terdengar. Zian masih berteman dengan kecewanya, sedangkan laki-laki itu berdiskusi dengan otaknya mengenai kalimat yang tepat untuk diucapkan.

"Masih pusing?" tanya Zian sembari menyentuh jidat Dipta.

"Agak demam, mau dianterin ke dokter?" lanjutnya.

Dipta sedikit tersenyum sembari menatap sang kekasih yang nampaknya masih marah, "Sayang maafin aku ya."

"Minum obatnya terus istirahat aja, nggak ada kelas kan?" ucap Zian mengalihkan pembicaraan, "Atau mau aku telfon Mumun buat titip absen kamu aja ya?"

"Sayang ...." Dipta merengek. Persis anak kecil yang menginginkan permen lollipop.

"Udah makan?"

"Kamu marah ya? sayang maafin aku."

Zian menghela nafas, "Bahas nanti aja ya kalau udah sehat."

"Nanti aku tambah sakit kalau belum kamu maafin," tutur Dipta. Tangan laki-laki itu terus menggelayuti lengan Zian.

"Bisa gitu ya?"

"Ya kan akunya jadi mikir. Sumber dari segala penyakit kan pikiran yang."

"Stop panggil-panggil sayang deh, tambah marah nanti aku."

"Makanya maafin. Ya ... ya ... ya," ucap laki-laki itu sembari mengedipkan matanya beberapa kali.

"Aku nggak marah sama kamu, aku cuma nunggu penjelasan dari kamu."

Satu menit keduanya terdiam, hanya saling tatap. Didalam otak kecil laki-laki itu tengah memikirkan sesuatu untuk dikatakan. Menatap manik mata Zian membuat segalanya menjadi terasa sangat bersalah. Sedari kecil Dipta diajarkan oleh sang ayah untuk bisa bertanggungjawab atas tindakannya sendiri. Dan hari ini, ia juga akan membuktikan itu.

"Intinya, aku nggak mungkin nolak ajakan Ais karena kemaren dia bilangnya disini cuma sebentar, jadi pikirku yaudahlah cuma sebentar doang."

"Diwaktu sebentar itu makanya kamu mau menghabiskan waktu bareng Ais dan nggak mau ada yang ganggu?"

Zian [END]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin