BAB I | FORGOTTEN MEMORIES

86 10 0
                                    

Kushina Uzumaki, seorang profesor bedah jantung muda dan sangat berbakat. Namanya sudah dikenal oleh para dokter seantero Jepang. Sekarang ia bekerja di Konoha Hospital sebagai kepala bagian bedah jantung. Wanita yang sangat dihormati karena kemampuan dan sikapnya yang tegas.

"Dokter Uzumaki, ada pasien yang membutuhkan pertolongan segera. Ia memiliki penyakit jantung dan tengah berada di Instalasi Gawat Darurat ...."

Kushina mendengarkan penjelasan dokter bawahannya dengan seksama sambil berjalan cepat menuju lift yang akan membawanya ke ruang gawat darurat.

"Baiklah aku menuju kesana," lalu ia mematikan telpon dan menunggu angka di dinding lift dengan gusar. Salah satu kakinya mengetuk-ketuk lantai. Ia ingin segera sampai dan menangani pasiennya. Ia tidak boleh terlambat.

Tepat setelah pintu lift terbuka di lantai tujuannya, Kushina langsung melesat berlari dengan kencang tak memerdulikan siapapun yang menyapanya sepanjang jalan menuju tempat pasiennya berada.

Setiap detik sangat berarti. Ia tak mau membuang-buang waktunya.

Kushina segera membuka pintu dan melesat masuk dan memeriksa pasiennya yang berada di brankar dengan cekatan. Dengan cepat ia mengecek seluruh tanda vitalnya terutama jantung.

"Siapkan ruang operasi dan hubungi keluarganya sekarang juga. Ini darurat," pintanya yang segera dilaksanakan oleh beberapa perawat dan dokter yang bertanggung jawab untuk ruang operasi. Kushina pun segera bersiap-siap.

Beberapa menit kemudian pasien itu dipindahkan ke ruang operasi dan seorang perawat menghampiri Kushina.

"Semua sudah siap dan walinya sudah menandatangani izinnya." Kushina pun mengangguk dan segera memasuki ruang operasi dengan pakaian bedah. Semua peralatan sudah disiapkan. Dokter yang menjadi asistennya pun sudah berada di tempatnya.

"Baiklah. Mari kita mulai."

*****

Operasi di siang hari itu berakhir dengan sangat lancar tanpa hambatan. Asistennya menutup luka dengan sangat baik tanpa bantuan Kushina. Ia sangat senang menemukan asisten yang cakap dan cekatan seperti Rin Nohara. Kushina berjanji akan mengajarinya lebih banyak lagi supaya ia bisa menjadi lebih hebat darinya karena ia melihat bakat naturalnya sebagai seorang dokter yang hebat.

"Kerja bagus, Rin-chan!" puji Kushina setelah Rin selesai memberitahu keluarga pasien bahwa operasinya berjalan lancar dan mereka akan memantau pasien beberapa waktu sebelum dipindahkan ke kamar biasa.

"Terima kasih, senpai!"

Kushina mencebik dan bersidekap, "Panggil aku Nee-chan!" protesnya. Rin pun tertawa.

"Baiklah, aku akan berusaha lebih keras, Kushina Nee-chan!" serunya dengan mengepalkan tangan. Lalu Kushina mengajaknya untuk makan bersama di kantin.

Keduanya menikmati makan siang dengan tenang. Kushina banyak membicarakan hal tentang pekerjaan dan menyuruh Rin agar rajin belajar dan sering ikut dengannya dalam operasi.

"Nee-chan benar-benar pekerja keras ya? Apa kau tidak mengambil cuti lagi tahun ini?"

"Aku lebih senang bekerja. Lagipula tidak melakukan apapun di rumah itu membuatku jengah dan kesal."

"Rumah sakit sudah seperti rumahmu saja, Nee-chan. Seharusnya kau lebih banyak istirahat. Sudah cukup banyak hal yang kau lakukan. Mungkin ada hal lain yang bisa kau lakukan."

"Misalnya?" Kushina menatap Rin dengan kedua alis terangkat heran. Ia sudah merasa puas dengan dirinya sendiri hingga tak berpikir memerlukan hal lain lagi.

"Kencan dan mencari pasangan mungkin?"

Kushina menghela napas dan kembali menatap makan siangnya yang tersisa beberapa suapan. Pasangan? Ia tidak yakin bisa menemukan dan merasakan hal semacam itu.

Keinginannya sudah hilang sejak lama.

"Aku tidak punya keinginan untuk itu. Hubungan seperti itu sangat merepotkan."

Rin tak ingin memperpanjang topik tabu itu lagi di hadapan Kushina setelah melihat raut wajah wanita bersurai merah itu terlihat marah. Ia tak mau menjadi korban amukan Kushina Uzumaki yang terkenal mengerikan.

Ketika keduanya sedang menikmati sisa makan siang yang tenang, ponsel Rin berdering karena notifikasi pesan.

"Oh, Shizune sudah memberitahu wali pasien yang tadi untuk menemuimu besok pagi."

Kushina mendongakkan kepala dan tersenyum cerah. "Bagus! Terima kasih, Rin-chan."

*****

Pukul sepuluh pagi adalah jam yang dijanjikan untuk Kushina dan wali pasien yang ia operasi kemarin bertemu. Kushina sudah siap berada di ruangannya dengan jas putih melekat di tubuhnya dan rambut panjang yang ia ikat kuncir kuda. Kacamata anti radiasi bertengger di hidungnya. Ia memandangi layar komputer yang memperlihatkan hasil observasi setelah operasi dengan seksama.

"Dok, walinya sudah datang," Shizune menginfokan sembari menghampirinya di depan pintu. Kushina mengangguk dan tersenyum.

"Persilahkan walinya masuk." Shizune pun memanggil wali pasien yang duduk di kursi depan ruangan Kushina.

Wali pasien itu mengangguk dan mengikuti Shizune untuk masuk ke dalam ruangan Kushina. Setelah wali itu masuk, Shizune menutup pintu perlahan dan mengisyaratkan pada Kushina. Wanita bersurai merah itu pun mendongak dan menyambutnya dengan ramah.

"Ah, selamat datang dengan wali ..." ucapan Kushina terhenti ketika manik mata violetnya bertemu dengan manik biru pria yang baru saja masuk ke dalam ruangannya. Keduanya sama-sama terkejut untuk sesaat hingga tak ada yang mengeluarkan suara.

Shizune dibuat keheranan dengan dua insan yang saling berpandangan tanpa berkedip dan bersuara itu. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Kushina dan pria berparas tampan dengan tubuh tinggi dan surai pirang itu?

Apa Dokter Kushina jatuh cinta pada pria tampan itu? Sungguh? Shizune tak bisa berhenti berprasangka aneh-aneh pada dua orang itu hingga akhirnya ia memutuskan untuk memanggil Kushina dan menyadarkannya.

"Dok. Kau harus menjelaskan kondisi pasien," Shizune bersuara. Kushina lantas tersadar dan salah tingkah.

Jantung Kushina berdegup dengan sangat kencang namun ia menyembunyikan perasaannya di balik wajah datar yang ia kendalikan seratus persen. Ia tak boleh goyah. Semua hal yang sudah ia lakukan demi melupakan perasaannya selama ini. Selama sepuluh tahun ini tidak boleh runtuh.

Sekalipun untuk pria yang berdiri di hadapannya sekarang.

"Silahkan duduk, Tuan," Shizune mempersilahkan pria itu duduk di kursi yang berhadapan dengan Kushina. Pria itu hanya mengangguk dan terus menatap Kushina dengan tatapan yang tak bisa diartikan.

Mungkin lebih seperti tatapan ... kerinduan?

Kushina menarik napas panjang dan menenangkan diri. Namun napasnya seakan tercekat dan mencekik tepat ketika pria di hadapannya memanggil namanya dengan sangat lembut.

"Kushina ...?"

Dan Kushina bisa merasakan kedua tangannya berkeringat dingin dan jantungnya berdegup lebih kencang.

Tembok tebal dan kokoh yang selama ini ia bangun, runtuh seketika.

RED [SLOW UPDATE]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora