[ Part 9 ] Mereka Tahu

Start from the beginning
                                    

"Kenapa lo kelihatan takut banget hanya karena Mama manggil dokter buat Nara. Kenapa?"

Lagi-lagi Kevan menggertakkan giginya hingga membuat rahanganya menegas. Pikirannya kalut saat ini. Hanya umpatan kekesalan yang hanya tertahan dalam dadanya.

Sial! Umpat Kevan dalam hati.

"Kev? Apa hal yang lo sembunyiin?"

"Bukan urusan lo."

Genan tertawa sinis, lantas berdecih. "Cih, dengan sikap lo kayak gini malah bikin gue tambah curiga. Pasti lo udah ngelakuin sesuatu hal buruk ke cewek itu, 'kan? Dan gue udah bisa nebak hal buruk apa itu. Hal buruk yang merenggut masa depan tuh cewek. Bener tebakan gue?"

Kevan semakin emosi, tapi lagi-lagi hanya bisa ia tahan.

"Kesalahan lo kali ini benar-benar fatal, Kev. Terus bedanya lo sama Papah apa? Lo selalu sebut Papah brengsek dan ternyata hal itu balik ke diri lo sendiri. Lo juga brengsek," imbuh Genan.

"Sial! Diem lo! Gue kakak lo, jadi seharusnya lo bantu gue untuk nyelesain masalah ini supaya Mamah nggak kecewa sama gue," geram Kevan.

"Baru beberapa menit lalu lo bilang 'ini bukan urusan lo, lo nggak perlu ikut campur', dan sekarang lo minta bantuin gue? Cih, selesain masalah lo sendiri. Berani berbuat berani bertanggung jawab. Jangan jadi pengecut lo."

"Aish, sial!" geramnya mendesis, takut sang Mama yang mendengar.

"Ngertiin gue juga dong njing. G-gue juga nggak mau kayak gini. Gue juga takut bikin Mama kecewa apalagi dia punya penyakit jantung. Lo coba mikir dong gimana kondisi Mama kalo dengar kabar ini, sakit jantungnya pasti bisa kumat," jelas Kevan bersungut.

"So... itu karena kesalahan lo sendiri. Kalo Mama kenapa-napa berarti itu karena lo."

Di dalam kamar, dokter bernama Revita itu sudah memeriksa kondisi Nara. Almira yang sedari tadi ikut berada di dalam kamar itu sontak memandangnya dengan pandangan bertanya, pasalnya raut wajah dokter muda itu terlihat berbeda dari sebelumnya

"Gimana, Dok?" Almira bertanya.

"Kondisinya benar-benar lemah. Dia harus banyak istirahat dan minum vitamin untuk menjaga daya tahan tubuhnya."

Almira manggut-manggut paham.

"Tapi ada satu hal yang mungkin akan membuat Anda terkejut." Dokter berujar lagi.

"Apa, Dok?"

"Nara ... sedang mengandung."

Pengungkapan itu seolah membuat aliran darah Almira berdesir hebat. Sontak ia menutup mulutnya sangking tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut dokter wanita itu.

"Ja-jadi Nara hamil?" Sang dokter mengangguk sebagai jawaban.

"Iya. Maka dari itu kondisinya harus benar-benar di jaga karena kondisi janinnya juga semakin lemah."

"Resep obatnya sudah saya tulis. Dan satu lagi, tolong sampaikan pada Nara agar selalu menjaga kesehatan fisik dan mentalnya. Karena mental juga bisa berpengaruh pada janinnya, jangan sampai dia terlalu stress."

"Ba-baik,Dok."

"Kalau begitu saya permisi," lanjutnya.

"Iya, Dok. Terima kasih."

°°°

Beberapa menit berlalu semenjak dokter bernama Revita itu pergi, Almira tampak gelisah. Wanita yang duduk di sofa berwarna abu-abu gelap itu menyiratkan rasa khawatir. Sontak hal itu membuat kedua putranya merasa heran sekaligus was-was. Terutama Kevan yang terlihat risau saat menatap wajah mamanya.

"Kenapa, Mah?" Genan bertanya.

"Emm, itu... Nara... Nara hamil," ungkap Almira tergagap.

Sontak keduanya terkejut. Terlebih lagi Kevan yang sudah mengepalkan tangannya erat hingga buku-buku jarinya memutih. Emosi hanya bisa ia tahan dengan gigi menggertak.

Genan tentu juga terkejut. Ternyata dugaannya benar. Netranya memandang Kevan seolah memperingatkan agar laki-laki itu menahan emosinya dan tak bersikap berlebihan agar tak menimbulkan kecurigaan bagi sang Mama.

"Kasihan sekali Nara. Diusia segitu dia harus menanggung beban seberat ini," ujarnya sendu.

"Nara itu baik. Laki-laki yang sudah merenggut kehormatannya benar-benar pantas disebut brengsek," imbuhnya.

Kevan meremat jari jemarinya-hal yang ia lakukan saat cemas. Bukan cemas akan kondisi Nara melainkan karena kondisi sang Mama. Dia takut jika Almira tahu siapa laki-laki yang ia sebut brengsek itu adalah dirinya. Apalagi Almira mempunyai penyakit jantung yang bisa kambuh kapan saja.

Sedang Genan lagi-lagi memandangnya. Entah kenapa baru kali ini dia melihat wajah kembarannya itu menyiratkan rasa cemas teramat dalam.

"Ta-tante," lirih seseorang.

Ketiganya kompak menoleh pada seorang gadis yang baru saja keluar kamar. Berjalan tertatih seraya memegang perutnya. Siapa lagi kalau bukan Nara.

"Eh, Nara sudah sadar?" Almira berjalan menghampiri gadis itu dan membantunya berjalan.

"Nara pulang aja, Tan."

"Yaudah, mungkin kamu bisa lebih nyaman istirahat di rumah."

Hati Nara seolah mencelos mendengar kalimat itu. Justru baginya tak ada rasa nyaman di rumah.

"Biar dianter Kevan, ya?"

"Nggak. Nggak mau. Kan Genan tadi yang bawa ke sini. Kenapa Kevan yang disuruh nganterin," tolak Kevan.

"Gue nggak tahu rumahnya," sahut Genan.

"Sekitar tiga ratus meter dari sini. Nanti juga cewek itu yang nunjukin jalan. Lagian kan lo yang bawa mobil." Kevan membalas.

"Yaudah Genan aja, ya, yang nganterin. Nanti sekalian balikin mobilnya. Itu mobil sekolah kan?" balas Almira.

Mau tak mau akhirnya Genan menyetujui. "Iya, Mah."

.
.
.

|🌹SILENCE OF TEARS🌹|

« Bersambung »

Segini dulu ya. Semoga suka dan tetap setia di lapak ini😊. Jangan lupa vote, komen, dan share ya lovv <3

See you next part (๑•ᴗ•๑)♡

Silence Of Tears (TERBIT) Where stories live. Discover now