🍁CHAPTER 14🍁

50 8 0
                                    

Ketigabelas: Bagaimana masa lalu mencekik hidupku

- Sebuah rasa sakit -

🍁


Seung Gi terus meminta sopir taksi untuk menambah kecepatan meski hujan masih turun dengan deras dan kilatan petir masih terus menyambar langit yang gelap. Ketika jaraknya dengan sekolah Seung Hee tak terlalu jauh, taksi yang ditumpangi Seung Gi tiba-tiba mengalami pecah ban.

Hampir saja terjadi kecelakaan, untungnya tak ada cedera yang berarti karena sopir taksi itu sigap mengatasi keadaan. Hanya saja kening Seung Gi nampak lebam karena benturan.

Setelah membayar, Seung Gi memutuskan untuk berlari ke arah sekolah Seung Hee. Langkahnya yang panjang seolah membelah jalanan yang diserbu oleh air hujan sementara tangannya terus sibuk memegang ponsel untuk menghubungi nomor Seung Hee.

Namun masih tak ada jawaban. Membuat kepanikan Seung Gi semakin memuncak disaat pandangannya terus dihalangi oleh serbuan air yang menghujani wajahnya. Seung Gi terus berlari. Tujuannya kini hanya sekolah Seung Hee, berharap ia bisa menemukan gadis itu disana.

🍁

Alasan mengapa telepon Seung Hee tiba-tiba terputus adalah karena gadis itu merasa ia harus segera kembali ke tempat Daniel. Segera setelah meninggalkan telepon umum, Seung Hee berlari, berharap tak ada hal buruk apa pun yang terjadi pada Daniel. Pada seseorang yang sudah seperti pelangi pertama dalam hidupnya.

Seung Hee terus memohon, berdoa agar langkahnya tak terlambat.

Beberapa langkah dari pijakan dimana Seung Hee berdiri, ia melihat jalanan tak jauh dari gang tempat Daniel berada nampak ramai. Orang-orang berkerubung dengan payung mereka, seolah tengah menonton sesuatu. Sementara suara sirine ambulans beradu dengan gelegar petir bersama hujan.

Langkah Seung Hee membeku ketika ia melihat seseorang yang tak asing baru saja dinaikkan ke dalam ambulans. Seseorang yang wajahnya sempat terlihat sebelum ditutup oleh kain putih. Seseorang yang membuat Seung Hee jatuh terduduk, langitnya benar-benar runtuh. Pijakannya roboh.

“Daniel.” bisik Seung Hee, terdengar begitu lirih dan perih.

🍁

Sudah sekitar lima belas menit sejak Seung Gi sampai di sekolah Seung Hee. Ia terus berlari tak tentu arah sambil sesekali menyerukan nama saudara kembarnya itu, tak peduli meski dirinya menjadi pusat perhatian beberapa siswa yang masih berada di sekolah.

Satu tangannya masih sibuk mencoba menghubungi ponsel Seung Hee, dan satu tangannya lagi terus membuka pintu yang ia temukan di sekolah itu satu per satu. Seung Gi seperti ingin menangis, ia benar-benar panik dengan sekujur tubuh yang basah oleh hujan.

Di tengah pencariannya, Seung Gi tidak berhenti memohon. Ia menghentikan langkah sebentar untuk mengatur napas, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa tak akan ada yang terjadi pada Seung Hee. Semuanya akan baik-baik saja.

Harapan itu masih tinggi tepat sebelum ponselnya berdering. Seung Gi langsung menjawab telepon itu tanpa melihat nomor penelpon di layar ponselnya. Berharap itu adalah Seung Hee.

Telepon itu bukan dari Seung Hee, tapi dari rumahnya. Asisten rumah tangganya menelpon dengan suara panik dan setengah terisak, sementara Seung Gi bisa mendengar suara tangis ibunya di latar belakang. Seung Gi masih belum bersuara hingga telepon itu berpindah ke tangan ibunya dan wanita itu memintanya pulang sambil menangis.

🍁

Seung Gi turun dari taksi dengan hati yang gusar. Entah mengapa langkahnya terasa berat ketika ia melihat gerbang rumahnya telah dipenuhi oleh orang-orang. Ia juga melihat mobil polisi dan ambulans. Seung Gi terpaku, berusaha mengatur napasnya sendiri sebelum akhirnya ia melangkah diiringi oleh derasnya hujan.

Dari luar pintu, Seung Gi bisa mendengar ibunya menangis sementara ayahnya berusaha menenangkan. Meski ketakutannya semakin dalam, langkahnya tetap bergerak maju perlahan memasuki rumah hingga sepasang matanya melihat kedua orangtuanya yang menangis. Keduanya terduduk di lantai, melihat ke arah kamar Seung Hee.

Wajah Seung Gi memanas, sepasang matanya perlahan dipenuhi oleh air yang masih terbendung. Ia mengarahkan pandangannya ke dalam kamar Seung Hee dan seketika tubuhnya roboh saat melihat gadis itu tak lagi menyapanya sambil tersenyum.

Hari itu, Seung Hee meninggal. Mengiris nadinya sendiri. Hari itu, untuk pertama kalinya Seung Gi menangis hingga dadanya terasa sesak.

🍁

Sejak kematian Seung Hee, keluarga Seung Gi tak lagi sama. Pintu kamar gadis itu yang terus tertutup seolah mengunci setiap suara di dalam rumah. Ibu Seung Gi kerap kali berhalusinasi, terkadang ia membuatkan makanan dengan jumlah yang masih sama. Seolah Seung Hee masih ikut makan bersama mereka.

Di kamarnya, Seung Gi terduduk bersandarkan tempat tidur, ditangannya ada secarik kertas. Surat terakhir dari Seung Hee yang hanya berisi kalimat singkat.

“Maafkan aku karena sudah terlahir sebagai beban. Aku tak bisa kehilangan apa pun lagi, jadi aku akan pergi. Terima kasih. Maafkan aku.”

Seung Gi menutup kedua matanya yang mulai menangis. Ia benar-benar tidak mengerti alasan apa yang membuat Seung Hee melakukan itu. Ia juga benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi. Satu-satunya hal yang ditinggalkan Seung Hee hanya surat itu. Dan sebuah nama yang gadis itu sebut di telepon. Daniel.

🍁

Dua minggu setelah hari itu, setelah pikirannya telah lebih jernih, Seung Gi mencoba mencari seseorang dengan nama Daniel di sekolah Seung Hee. Berharap ia bisa mendapatkan jawaban atas kematian saudara kembarnya itu.

Setelah bertanya pada beberapa siswa, Seung Gi tahu bahwa di sekolah itu hanya ada satu orang yang memiliki nama Daniel. Kang Daniel. Tapi, bersama dengan informasi itu Seung Gi juga akhirnya tahu bahwa seseorang yang ia cari itu telah meninggal. Di hari yang sama dengan Seung Hee.

Seung Gi terus mencoba bertanya mengenai hubungan apa yang dimiliki Seung Hee dan Daniel tapi hampir semua siswa yang ia tanyai tidak tahu, mereka bahkan tak yakin Daniel memiliki hubungan istimewa dengan Seung Hee karena pada dasarnya Daniel memang orang yang seperti itu pada semua orang. Hangat dan supel.

Tak ada informasi berarti apa pun yang bisa ditemukan Seung Gi di sekolah itu membuat pintunya seolah tertutup. Ia seperti menemukan jalan buntu.

Akhirnya setelah satu bulan, ayah Seung Gi memutuskan untuk membawa mereka pindah ke Jepang selama beberapa waktu untuk memulihkan kondisi istrinya yang tak kunjung membaik. Mereka kemudian kembali ke Korea setelah dua tahun dan menempati rumah yang baru. Memulai lembaran baru, membiarkan pintu itu tertutup begitu lama.

Hingga akhirnya pertemuan Seung Gi dan Ji Eun seolah mengetuk pintu yang selama ini telah lama sunyi itu. Membuka kembali takdir dengan akhir cerita yang tersembunyi.

Entah akan menjadi cerita yang baru atau justru akan mengulang kembali tragedi.

🍁🍁🍁

FALLWhere stories live. Discover now