🍁CHAPTER 11🍁

59 9 0
                                    

Kesepuluh: Bagaimana masa lalu mengikat kita

- Sebuah garis takdir -

🍁

Sudah dua hari Ji Eun tidak masuk sekolah sejak kejadian hari itu.

Hari itu. Hari saat Ji Eun menatap Seung Gi dengan sepasang mata yang sarat akan rasa sakit. Hari itu. Hari dimana Seung Gi sama sekali tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi.

Seung Gi mencoba mencari keberadaan siswi yang hari itu ia tolong dari para berandalan. Berniat menanyakan dimana ia bisa menemui berandal itu dan bertanya langsung pada mereka sebenarnya apa masalah mereka dengan Ji Eun.

Siswi yang merupakan adik kelasnya itu hanya memberikan jawaban tak pasti pada Seung Gi karena ia sendiri tidak tahu dimana keberadaan pimpinan berandal itu beberapa hari belakangan karena pimpinan berandal itu tengah mendapat skorsing dari sekolahnya. Meski begitu, ada satu informasi yang membuat Seung Gi tercenung.

SMP dari pimpinan berandal itu. Dan juga fakta bahwa Ji Eun tidak berasal dari SMP yang sama. Tentu saja Seung Gi juga menanyakan tentang “Niel” yang disebut oleh Ji Eun pada siswi itu. Tapi siswi itu sama sekali tidak tahu.

Seung Gi menghela napas berat, “Sebenarnya apa yang sudah terjadi?”

🍁

Gemuruh suara hujan yang bersahutan dengan kilatan petir membuat Ji Eun tersadar ia tengah bermimpi. Mimpi dimana ia kembali pada hari ketika ia melihat Daniel sebelum kecelakaan itu terjadi. Mimpi dimana ia kembali berlari sambil menangis histeris di bawah hujan. Mimpi dimana ia memangku kepala Daniel yang dipenuhi darah yang tak ada habisnya meski terus ditimpa air hujan.

Ji Eun memohon agar laki-laki itu tetap bersamanya. Ji Eun memohon pada semesta agar membiarkan laki-laki itu tinggal lebih lama. Ia memohon sambil mendekap erat Daniel sementara bibirnya terus berbisik, meminta maaf berkali-kali.

Daniel nampaknya berusaha mengatakan sesuatu dengan susah payah, tapi Ji Eun tidak bisa mendengarnya. Ia hanya melihat sepasang mata Daniel yang memerah dan sendu. Saat itu, Ji Eun merasa tubuh Daniel semakin terasa dingin meski ia sudah mendekapnya erat. Saat itu, Ji Eun tahu semuanya akan tetap berakhir bagaimana pun ia memohon.

Maafkan aku. Maafkan aku.

Ji Eun terbangun dengan wajah yang berhiaskan air mata ketika Ibu Panti mengguncang lembut bahunya. Ibu Panti memeluk Ji Eun layaknya seorang ibu dan mengusap air mata gadis itu dengan senyum pedih.

Sejak kematian Daniel, Ji Eun tak pernah mau diadopsi. Ia takut memiliki keluarga hanya akan membuatnya merasa bahagia dan akhirnya lupa pada kesalahannya yang berujung pada kematian Daniel.

Setelah lebih tenang, Ibu Panti memberitahu Ji Eun bahwa sudah ada seseorang yang menunggunya di ruang tamu. Benar, itu Seung Gi.

Setelah menunggu beberapa menit, Seung Gi akhirnya melihat Ji Eun yang berjalan menghampirinya. Senyumnya lantas terkembang ketika gadis itu telah duduk setelah meletakkan gelas minum untuknya.

“Kau tidak apa-apa?” Seung Gi membuka pembicaraan lebih dulu. Ia juga memberikan satu kantong plastik berisi jeruk dan apel, “Sejujurnya aku tidak tahu apa salahku, tapi aku benar-benar minta maaf sudah membuatmu merasa tidak nyaman selama ini. Aku tidak tahu kau merasa begitu setiap melihatku.”

Tak ada jawaban apa pun dari Ji Eun tentu saja membuat Seung Gi gelisah. Ia kemudian mencoba membaca ekspresi wajah Ji Eun yang masih datar, “Meski begitu aku tetap tidak mau menjauh darimu.” lanjutnya yang langsung mendapatkan reaksi dari gadis itu.

“Kenapa? Karena kau menyukaiku?” Ji Eun akhirnya membuka suara. Sementara Seung Gi yang menjawab pertanyaan itu dengan anggukan membuat gadis itu lantas tersenyum tipis, “Itu bukan salahmu. Itu salahku karena mengatakan hal itu padamu, padahal kau tidak ada hubungannya dengan kejadian itu. Juga dengan Niel. Maaf, Seung Gi-ya.”

Tidak mengira akan mendapatkan jawaban seperti itu, Seung Gi terdiam selama beberapa detik. Berusaha mencerna sebaik mungkin.

“Tentang Niel itu, apa kau tidak keberatan untuk menceritakannya padaku?” Seung Gi mengeluarkan pertanyaan itu dengan hati-hati setelah selesai berpikir. Ia berusaha membaca raut wajah Ji Eun, kalau kalau gadis itu merasa tidak nyaman dengan pertanyaannya.

Ji Eun yang semula tertunduk kini nampak mulai mendongak dan menatap ke arah Seung Gi dengan sorot yang lembut. Ia kemudian bercerita sedikit demi sedikit tentang Daniel. Cerita yang biasa hingga itu berujung pada tragedi yang merenggut Daniel darinya. Cerita yang diakhiri dengan ungkapan penyesalan yang sama.

🍁

“Apa kau tahu kenapa Niel bisa berurusan dengan berandal itu?” Seung Gi bertanya setelah Ji Eun menyelesaikan ceritanya.

Ji Eun menggeleng, “Aku tidak tahu. Dia tidak pernah menceritakan apa pun tentang hal itu.”

“Bagaimana dengan berandal itu? Kau tidak bertanya pada mereka alasan kenapa mereka melakukan itu pada Niel?” Seung Gi terus bertanya untuk mencari titik yang lebih terang.

“Tentu saja saat itu aku tidak berpikir untuk menanyakan itu. Sejak kematian Niel, aku tidak pernah memikirkan hal lain lagi selain menyalahkan diriku sendiri. Karena apa pun alasan mereka melakukannya, kenyataan bahwa Daniel meninggal karena aku tidak akan pernah berubah.” Ji Eun mengatakan itu dengan lengkungan senyum samar yang terasa menyakitkan. Kesepuluh jemarinya saling bertaut, seolah berusaha agar pertahanannya tak kembali runtuh.

“Sebentar, Ji Eun-ah..” Seung Gi nampak tercenung, sorot matanya menerawang seolah baru saja mendengar sesuatu yang tak asing, “Barusan apa kau bilang?”

Ji Eun mengerutkan keningnya, tidak mengerti dengan maksud pertanyaan Seung Gi.

“Apa Niel yang kau maksud itu.. Daniel?”

Meski masih bingung, Ji Eun akhirnya mengangguk. Sebuah jawaban yang mampu membuat Seung Gi melepaskan gelas teh yang tengah ia pegang. Memecahkannya menjadi berkeping-keping.

🍁🍁🍁

FALLWhere stories live. Discover now