🌿BC-30

10.9K 2.7K 1.1K
                                    

"Heh, anak baru! Sini!" seru si ketua sel.

Mila manaik kan satu alis. "Gue?" menunjuk dirinya sendiri.

"Iya lah, siapa lagi! Sini, pijitin gue!"

"Punya kedua tangan di manfaatin, jangan di manja! Allah kasih dua tangan bukan untuk di anggurin," jawab Mila.

Wajah ke empat wanita itu berubah merah, menahan emosi.

Pina si ketua sel datang menghampiri Mila. Mencengkeram dagu wanita tersebut. "Lo nasihatin gue?! Ngaca dulu, gak usah banyak ngayal. Lo, sama kita sederajat."

Mila meringis ketika kuku Pina menancap, berhasil menembus kulit dagunya. Ia merasakan ada yang mengalir dari titik beberapa kuku tersebut tertancap. Perih, itu lah yang ia rasakan.

Bagaimana Mila bisa melawan jika kedua tangannya di tahan. Ini lah kenapa kemarin wajah Mila penuh lebam. Yang mereka tahu hanya wajah, kenyataan lebam tersebut juga ada pada beberapa bagian tubuh lainnya.

Pikiran yang kacau membuatnya tak mampu melawan keempat orang ini. Tubuhnya lemas, tenaganya telah di kuras oleh pikiran. "Lepasin gue," seru Mila menatap wanita tersebut.

Sebuah smirk kembali muncul. "Lo minta ampun, baru gue lepasin."

"Tuhan gue cuma satu, Allah. Sampai mati pun gue gak akan pernah minta ampun ke siapapun selain Allah," ucap Mila tegas.

"Oh, jadi lo gak mau minta ampun sama gue?!" Cengkraman semakin di eratkan, darah kental pun semakin mengalir deras. Rasa perih juga kian menjalar.

"Masih gak mau minta ampun, hemm?!"

Mila tertawa. "Lo mau bunuh gue? Silahkan, bunuh. Emang itu yang gue mau."

"Siksa gue, semau kalian." Dada Mila kembang kempis. Sungguh, ia tak sanggup lagi menjalani kehidupan seperti ini. Seluruh jiwa dan raganya hancur. Hatinya telah mati. Tak ada tempat untuknya bersandar.

"Kenapa diam?! Siksa gue sampai gue mati!" Lagi-lagi air matanya jatuh. Mila benci dirinya yang sekarang, Mila benci terlihat lemah di depan orang.

"Wah sarap ini orang. Minta di siksa dia," kata Intan.

"Lepasin aja udah, dari pada polisi denger," usul Ghina kepada Pina.

Pina melepas cengkeraman pada dagu Mila, kakinya sedikit mundur. Seketika tubuh istri dari Husein itu merosot, terduduk di atas dinginnya keramik putih. Kenapa tak ada yang sayang kepadanya? Kenapa semua orang membenci dirinya?

Dari kecil hati Mila memang hancur, tapi tak sehancur ketika ia tak mendapat kepercayaan dari suaminya. Tiga hari di penjara, tiga hari pula laki-laki itu tak menengok Mila.

Kepalanya mendongak, menatap satu persatu ke empat narapidana yang selalu menyiksanya selama berada di tempat jahannam ini. "Kenapa kalian diam? Bunuh gue, bunuh. Gak papa, emang itu yang gue mau. Gue gak mau hidup lagi, tapi gue juga gak mau bunuh diri gue sendiri."

Wajah Mila semakin memerah, dadanya bergemuruh. "Oleh karena itu, bunuh gue. CEPAT!"

Intan mengusap lengan. Baru kali ini selama di sel ada orang yang minta di siksa, minta untuk di bunuh. "Gue jadi merinding, Bos."

Pina mendekat, ia jongkok tepat di depan Mila. Matanya menatap tajam perempuan yang ada di depannya.

Plak!

Satu tamparan keras berhasil merobek sudut bibir Mila. Ia kesakitan, tapi tidak menghilangkan tawa pedihnya.

Plak!

Kini kedua sudut bibir Mila terkoyak, penuh darah. Wajah yang semula mulus hancur penuh luka juga lebam. Lagi dan lagi ia tertawa.

Dagunya di cengkeram kembali. Pina bersuara dengan nada menekan. "Lo adalah perempuan terbodoh yang pernah gue temui!"

Banana CintaWhere stories live. Discover now