🌿BC-12

10.7K 2.6K 696
                                    

"Gue gak suka aja di panggil, Dea. Pokoknya gue gak mau di panggil Dea!" tekan Mila.

"Baik, saya akan berhenti panggil kamu Dea. Asalkan kamu manggil saya Mas Husein, Mas Ali, atau Mas Fahri. Terserah kamu."

Dahi Mila berkerut. "Ini orang lagi jualan nama apa gimana. Banyak bener variannya," gumamnya heran mendapat pilihan sedemikian rupa.

"Ada unsur apa lo nyuruh gue manggil pake embel-embel Mas?" Bukan apa-apa, dari segi penilaian seorang Dea Karamila, Husein lebih muda darinya.

Husein terdiam, benar juga apa yang dibilang Mila. Tidak mungkin ia mengatakan hal yang sebenarnya bahwa ia suaminya. Jika ia mengatakan sekarang yang ada gadis ini akan pergi, belum bisa menerima kenyataan. Apalagi mendengar pengakuan kalau Husein termasuk bukan tipe cowok ideal yang ia idamkan.

"Biar akrab," jawab Husein.

Kini Mila yang terdiam, kedua sudut bibirnya tertarik. Tiba-tiba sebuah ide muncul di otaknya. Batinnya bersuara, "Gue ajak ngomong aja biar gak jadi hafalan."

"Gue manggil lo, Mas?" Mila menahan tawa. "Yang bener aja, lo aja keliatan lebih muda dari gue."

"Jadi kamu merasa lebih tua dari saya?"

"Emang iya. Paling umur lo juga gak jauh beda dari si Galih," tebak Mila.

"Kamu benar, umur saya memang sama dengan Galih. Kalau kamu gak mau manggil saya Mas, berati saya boleh panggil kamu Tante." Jujur, sebenarnya Husein tak ada niat mengeluarkan kata tante, hanya saja melihat kekerasan Mila yang tak mau nurut dengannya akhirnya kata itu keluar juga.

"Sembarangan kalau ngomong! Gue bukan tante lo!"

"Oh, kamu gak mau juga saya pangil tante. Berarti kamu gak keberatan saya panggil Umi."

Gadis itu berdecak kesal. "Gue gak setua itu. Apa-apaan, nikah aja belom di panggil umi."

"Berarti kalau udah nikah boleh?"

"Enggak!"

"Baiklah. Mulai sekarang kamu saya panggil Umi dan kamu bisa panggil saya Abi," putus Husein.

Rasanya ingin sekali terbahak melihat ekspresi gusar istrinya. Beruntung seluruh santri masih mengikuti ngaji bandongan, jadi godaan demi godaan yang ia lontarkan tidak terdengar oleh santri lain.

"Dih, apaan sih. Gak jelas banget. Ngarep lo jadi suami gue?" Untuk kesekian kalinya gadis itu menggeram frustasi. "Asli, lo cowok paling aneh yang pernah gue kenal! Gak Nurul, gak lo, bikin tensi mulu."

Sebenarnya Mila lah yang merasa aneh, dulu di Bali jangankan ada yang memuji cantik, melirik saja tak mau, apalagi cowok. Tapi kenapa disini ia diperlakukan manusiawi, meski banyak yang mendumel karenanya tapi disini ia juga merasa diharhai beberapa orang.

Ia juga bingung, dari awal kakinya berpijak di pesantren ini sikap Husein sangat berbeda dengannya. Yang dilihat, Husein tak ada sikap seperti ini kepada siapapun, hanya dengannya. Apakah Husein suka dengannya? Tapi mana mungkin ada cowok yang suka dengan perempuan jalanan mantan begal seperti dirinya? Apa mungkin laki-laki ini hanya mempermainkannya saja? Itu lah isi pikiran Mila terhadap sikap Husein terhadapnya.

"Emang kalau saya yang jadi suami kamu kenapa? Keberatan?"

"Ya iya lah."

"Apa alasan kamu gak mau jadi istri saya? Karena saya lebih muda darimu?" Husein memandang Mila intens, sementara yang di pandang tidak ada sikap salah tingkah sama sekali.

"Itu tau, masih nanya."

"Umur bukan jaminan kedewasaan. Laki-laki berumur tiga puluh tahun pun gak akan pernah bisa menjadi dewasa tanpa adanya ilmu. Manusia didewasakan karena adanya ilmu dan pengalaman hidup. Semakin besar ilmunya maka semakin bertambah kedewasaannya. Ilmu yang memaksa orang menjadi dewasa."

Banana CintaWhere stories live. Discover now