🌿BC-29

10.4K 2.7K 805
                                    

"Suamiku menyayangi ku, tapi sayangnya dia hanya sesaat. Aku tau, pasti dia kecewa berat."

Dea Karamila
=========================

Di sepanjang perjalanan Mila hanya diam, sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Tidak berontak, cukup air mata tanpa suara saja yang menyiratkan bahwa sekarang hatinya benar-benar terluka.

Sakit karena di benci semua orang. Sakit, karena terlahir hanya untuk mendapat cacian, makian, bahkan kebencian.

Kebahagiaan yang selama ini ia dapat bagaikan kendaraan di jalan, cuma melintas dan tak akan pernah singgah lagi.

Mila yang sekarang tak sekuat dan setegar Mila yang dulu. Ia sadar bahwa apa yang ia lakukan dulu hanya topeng saja.

Satu bulir air mata lolos jatuh di atas punggung tangan. Tatapannya kosong seperti orang linglung.

"Maafin aku, Sein." Kata-kata ini tak henti menggema di hatinya.

Ia bukan menyesal karena pasrah di tangkap polisi setelah perjuangan penuh rintangan untuk kabur, tapi ia menyesal karena dirinya lah yang telah mencoreng nama baik suaminya dan juga lingkungan.

Seandainya waktu bisa di putar kembali, ia tak akan pernah mau menuruti permintaan kakek, setidaknya Husein tak akan menanggung malu karena ulahnya.

Semakin lama dada Mila kian sesak, tahu bukan bagaimana sesaknya menahan tangis? Sesaknya menahan luka lara dalam hati? Fisiknya mati rasa, namun tidak dengan hatinya.

Sekuat apapun ia mengelak, justru semakin sakit hati ini. Bibir tipisnya bergumam kecil untuk pertama kali selama berada di dalam mobil dengan polisi di kedua sisi ia duduk.

"Ibuk..., Mila pengen ngeluh, tapi gak sanggup, Buk." Sangking pelannya gumaman, kedua polisi ini tak dapat mendengar.

Kepalanya semakin tertunduk, lidahnya tak sanggup mengeluarkan kata. Kini hatinya yang bersuara. "Kek, Mila gak kuat hidup seperti ini."

"Mila pengen ikut ibuk, tapi Mila juga gak mau tinggalin kakek. Mila pengen ngerawat kakek. Mila harus gimana kek?"

Masih dengan pandangan lurus Mila berkata. "Pak, beri saya hukuman mati, sekarang!" ucapnya penuh penekanan.

Dua polisi yang ada di sisi Mila kaget, termasuk sang komandang yang duduk di depan sebelah sopir. "Kami tidak bisa asal memberi hukuman, apalagi hukuman mati. Kasus kamu sedang kami proses."

"Seenggaknya dengan kematian saya, kalian semua gak akan repot memberi makan saya di sel."

Ia tertawa, namun matanya menyiratkan luka yang amat sangat dalam. "Buat apa hidup kalau orang di sekeliling saya selalu menganggap saya hama yang harus di musnahkan."

Mila melihat salah satu polisi paruh baya. "Bapak punya anak perempuan?"

"Iya, saya memiliki dua anak perempuan, dan saya sangat menyayangi mereka."

"Gimana perasaan Bapak kalau liat anak perempuan Bapak sengsara? Apa yang akan Bapak lakukan ketika ada orang yang menyakiti putri Bapak?" tanya Mila tanpa mengalihkan pandangan dari si bapak tadi.

"Bagi saya mereka adalah harta yang paling berharga, apapun akan saya lakukan demi membehagian mereka. Dan saya tidak akan tinggal diam jika ada yang menyakiti putri saya," jawab si bapak. Sangat terpancar raut kasih sayang di wajahnya.

Ternyata setelah mendengar jawaban si bapak semakin menambah rasa sesak di dada Mila.

"Tuhan, aku cemburu dengan putri bapak ini. Aku juga ingin di cintai seperti bapak ini mencintai kedua putrinya. Aku ingin di sayang seperti bapak ini menyayangi putrinya. Aku juga ingin di lindungi seperti bapak ini melindungi kedua anaknya."

Banana CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang