🌿BC-26

13.1K 2.9K 638
                                    

Di taman sekolah, tampak tiga orang tengah duduk sembari bercengkrama. Sebenarnya bukan tiga, tapi empat. Hanya saja satu di antara ke empat perempuan itu tak dapat dilihat dengan mata telanjang.

Kira-kira hampir tiga puluh menit mereka saling mengakrab kan diri. Mereka tak lain dan tak bukan adalah Mila, Syanum, dan Daniar putri dari salah satu pengasuh pondok pesantren ini. Jangan lupakan pula si gadis tak kasat mata yang sedari tadi tak henti mendumel lantaran dirinya di acuhkan.

Bahkan lima belas menit sebelum berakhir duduk di taman, Daniar dan Syamun mengajak Mila untuk belajar masak bareng bersama Umma Habibah.

Bahagia? Tentu saja Mila bahagia. Meski begitu Mila tak ingin terlalu baper dalam berteman. Mereka menerima keberadaannya dengan baik, maka sikap Mila pun juga bisa jauh lebih menghargai mereka.

Perlahan senyum Mila luntur, ia terdiam menatap batu kerikil. Masih ada banyak hal yang sampai sekarang membuat hatinya gundah, ia tak yakin Husein tahu latar belakang kehidupannya selama ini. Jangankan Husein kakek Dayu saja tak tahu kalau cucunya adalah seorang buronan para depkolektor. Tak lupa profesinya dulu adalah begal.

Ia tak tahu bertahan sampai kapan kebahagian ini, suami penyayang, banyak teman, dan lingkungan yang bisa di bilang jauh lebih baik di banding lingkungannya dulu.

"Ning Mila kenapa?" tanya Daniar ketika menyadari keterdiaman istri dari sepupunya.

Mila menarik kedua sudut bibir yang sempat mengecil tadi. Kepalanya menggeleng. "Gak papa."

Syanum menyentuh lengan Mila. "Kalau Ning Mila mau, dan butuh wadah untuk curhat, kami siap menampung keluh kesah kamu Ning."

Kedua kalinya sang empu menggeleng. "Gue gak papa, cuma kepikiran kakek aja. Kangen, kasian juga udah tua sendirian di rumah."

"Kenapa gak kalian jenguk kakek. Ning ajak Gus Ali ke Bali," usul Daniar.

"Biaya kesana gak murah, gue disini juga gak kerja," kata Mila.

Daniar tertawa kecil. "Kok mikir kesitu. Ning Mila udah jadi istri, otomatis semua kebutuhan Ning, suami yang penuhi."

"Auh!" Fokus Mila teralihkan ketika merasakan sakit di bagian paha.

Pahanya di cubit kecil oleh setan yang sedari tadi meronta, menggerutu tak jelas. Bukannya merasa bersalah, dia justru menunjukkan wajah jengkel.

Melihat itu Mila mendengus, mengunci rapat-rapat bibirnya agar tidak mengeluarkan sumpah serapah yang kini tertahan di pangkal tenggorokan.

"Kenapa Ning?" tanya kedua putri Kyai tersebut.

Sembari mengusap paha, Mila menjawab. "Di gigit semut berbulu domba."

"Dih, berbulu domba. Lama-lama gue sumpel pake rumput tetangga juga itu mulut," gerutu Nurul gedek.

Daniar dan Syanum tertawa kecil. "Ada-ada aja Ning Mila. Mana ada semut berbulu domba."

Nurul mencak-mencak. "Ayo lah Mielaa..., gue risih ada mereka. Ah elah, pulang yok pulang."

"Pulang kemana?" ceplos Mila. Begitu sadar ia menutup mulut.

"Siapa yang pulang?" tanya Syanum bingung.

"Hah?" Mila kikuk seketika. Biginilah jika punya teman bawel tak kasat mata seperti Nurul. Harus kuat mental jasmani dan rohani. "Eng... Anu, itu gue pulang dulu. Mules."

"Iya udah gak papa," balas Daniar.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Setelah dirasa tak banyak santri berlalu lalang, Mila pun mengeluarkan suara. "Lo kenapa sih? Marah-marah mulu dari tadi."

Nurul melirik Mila sinis, berjalan dengan melipat kedua tangan di depan dada. "Udah tau gue gak suka sama si onoh."

Banana CintaWhere stories live. Discover now